Ilusi 1

930 304 115
                                    

Bandar Lampung, Januari 2016....

Gadis ramping berparas menawan, berjalan memasuki gerbang sekolah yang terkenal di kota Gajah. Ia sesekali membenarkan letak topi berwarna hitam-biru muda berinisial A.Sedangkan tangan sebelahnya di pergunakan untuk memainkan bola basket yang di bawanya dari rumah.

Tak ada yang melihat dan memujinya saat ini. Koridor yang ia lewati terasa sepi dan sunyi. seperti kota mati. Tak berpenghuni. Gadis itu tak ambil pusing. Ia terus saja berjalan di sepanjang koridor yang terpampang jelas berhadapan dengan lapangan upacara. Mampus!

Gadis sok keren itu berhenti lalu menoleh. Diangkatnya topi yang menutupi mata indahnya itu. Ia mengangkat satu alis saat yang di tangkap dengan kedua retinanya, barisan rapih topi abu-abu sesuai dengan kelasnya. Ini yang di namakan upacara? Gadis itu bertanya pada dirinya. Tipikal dirinya seperti anak-anak yang tidak taat aturan. Tapi sesungguhnya, bukan begitu asli dirinya. Ada sesuatu mengapa dia berubah, ada sesuatu yang tidak membuat dirinya harus berpura-pura agar terlihat baik-baik saja.

"Keren." Ia terkekeh.

Kalau saja sahabat gadis itu berada di sampingnya saat ini juga, sudah di pastikan ia di toyor habis-habisan akan terlalu bodoh untuk bersikap.

"Gigi lo yang keren----"

"Emang."

Di pastikan Gadis itu akan menjawab sedemikian rupa.

"Malah jawab. Keren kata lo? orang lagi baris rapih dan kepala sekolah lagi ceramah di bilang keren. Itu namanya upacara, bodoh."

Gadis itu sontak menoleh lalu menatap pemandangan di hadapan matanya. Ini yang di namakan upacara? Batinnya.

Ia membalikkan badannya. Semua tatapan menghujamnya. Ada yang bergumam akan keren penampilannya, atau memuji kecantikannya, dan di pastikan banyak juga yang memaki dirinya dalam hati masing-masing.

Gadis itu masa bodo. Ketika ia balik badan lagi untuk mengambil langkah berjalan menuju kelasnya, tapi belum sempurna ia berbalik, teriakkan yang tidak diinginkan terjadi.

"Ara!!!" Teriak lelaki paruh baya yang anak murid sebut dengan Kepala Sekolah.

"Duh, mampus ada cekgu besar." Batinnya.

Kepala sekolah itu, pak Broto namanya. Dia membenarkan kacamata rantainya lalu sedikit mengangkat celana dari perut buntalan bantal, kata buncit Ara pelesetkan menjadi buntalan bantal. Keren bukan? Pak Broto memiliki tempat di hati Ara. Sampai-sampai ia mempunyai julukan tersendiri.

Gadis itu yang bernama Ara menghadap dan menatap ke arah suara yang menggetarkan hatinya. Ralat. Sekolahnya. Ara mengangkat jari telunjuk yang di arahkan kepada pak Broto kemudian di balikkan arah menunjukknya. Dengan maksud."Bapak manggil saya?".

"Ya, iyalah saya manggil kau. Masa bola basket yang kau bawa. Sini kau!" Teriak pak Broto di depan semua murid yag sedang berdiri dengan khidmad mendengar amanat upacaranya, tadi.

Kalau kalian mau tahu, Bapak buntelan itu berteriak bukan dengan mulutnya saja, tapi dengan bantuan mikrofon. Tidak usah di bayangkan betapa menggemanya suara itu.

Dengan santai Ara melompat dari koridor yang tidak terlalu tinggi. Lalu ia berjalan ke lapangan dan menghampiri cekgu besar, yang artinya kepala sekolah.

Pak Broto turun dari mimbar tahtanya. "Arasia Lintang." Titahnya. Kemudian berjalan menghampiri Ara yang tak jauh darinya. Mereka sekarang berada ditengah-tengah ratusan murid yang sedang berdiri karena masih berlangsungnya upacara.

"Topi Pink," Pak Broto mengangkat topi itu dari wajah Ara.

"Kemana topi SMA kau? Sudah mulai ingin menentang peraturan?" Lelaki paruh baya itu mengangkat alisnya yang tak terukir.

Ara tak goyah, ia berani menatap Pak Broto. Bisa-bisanya gadis itu menentang menatap lelaki paruh baya itu.

"Selama ini kau murid pendiam, mengukir prestasi di bidang seni. Lalu? Kau dengan berani seenaknya berjalan di koridor. Kau tahu sekarang hari senin?!" Bentak pak Broto. Kali ini tidak memakai pengeras suara. Tanpa pengeras, suaranya saja sudah amat keras.

Gadis itu mengangguk, ia mengeratkan pelukan bola basket di pinggangnya.

Mata pak broto memincing, dengan satu hentakkan, bola basket yang ada dalam dekapan Ara sudah mantul sempoyongan.

"Itu kenapa bawa bola basket? Mau jadi olahragawan? Bukan di sini tempatnya. Ini sekolah umum. Jika kau ingin jadi olahragawan, cari saja sekolah yang khusus dengan minatmu ini.
Menyusahkan saja kau."

Ada satu kata yang paling menusuk ke hatinya, itu membuatnya meringis gusar. Ingin sekali Ara berteriak ketika keadaan kali ini memakinya.

Pak Broto berjalan mengelilingi Ara. Matanya mengedarkan pandangan sinis.

"Ini yang kalian sebut contoh sekolah? Kelakuan anak tak bermoral." Lelaki itu menyungging.

"Kau. Ikut. Saya." Tatap pak Broto ke arah Ara. Dia mengucapkan setiap kata dengan penuh penekanan.

"Lanjutkan upacaranya." Lalu pak Broto berteriak memerintah kepada petugas upacara agar melanjutkan kembali upacara yang sempat tertunda tadi.

"Saya urus anak ini dulu. Bisa merusak citra bangsa jika di ikutkan upacara walau dalam keadaan di hukum sekalipun." Ketus pak Broto. Ia berjalan menuju ruangannya. Ara pun membuntuti dari belakang.

Pada waktu bersamaan, seorang gadis yang berada di dalam barisan upacara menatap intens kearah Ara. Tatapan mereka sempat bertemu. Matanya berbicara akan makna yang tidak terdengar. Kemudian gadis itu menunduk lemas lalu membuang nafas berat. Seakan-akan kejadian barusan adalah dirinya yang merasakan.

Kadang manusia menjadi kuasa untuk dirinya, sampai-sampai lupa akan perasaan orang yang peduli akan dirinya. Kadang juga kita lupa, bahwa rasa tidak baik jika dimanja.

***************

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang