Ilusi 15

61 3 0
                                    

"Karena luka memang tidak mudah pulih seperti sediakala. Karena patah tidak mudah tumbuh seperti awalnya. Makanya, jangan pernah main-main soal rasa."

-Aulia Trisia

****************

"Ayah! Ayah!"

Ara berseru riang. Dia menggoyang-goyangkan tangan kekar Heru. Namun lelaki yang belum genap kepala empat itu acuh tak acuh. Dia melihat Ara dengan wajah yang datar.

"Ayah harus tau! Ara sudah hafal not biola loh! Oh iya, Ara juga kemarin tampil di acara perpisahan kakak kelas. Ara keren ya ayah?" Celoteh Ara diumurnya yang masih duduk kelas empat SD. Saat itu Ara berkunjung ketempat bermainnya sewaktu kecil.

Saat itu Heru menanggapi dengan senyum simpul kepada anaknya. Mereka tengah duduk di bangku pengunjung, lima belas menit dirinya diberi waktu untuk mengunjungi sanak saudara yang datang untuk menemuinya.

"Ayah, kapan ayah keluar dari ruangan imajinasi itu? Ara ingin ayah mengajarkan Ara bermain biola agar Ara menjadi jago seperti ayah." Ara yang masih polos itu senang sekali berceloteh, bahkan dia menganggap ruang tahanan di penjara saat itu adalah ruang imajinasi untuk ayahnya.

Walaupun sebenarnya dia sudah mengerti bahwa ayahnya sedang tidak baik-baik saja di tempat tersebut. Bukan hanya ayahnya, dirinya pun menjadi tidak baik-baik saja, apalagi ketika teman sebayanya yang mengejek dirinya atau bahkan tidak ada yang ingin berteman dengannya. Sama sekali, Tidak ada yang ingin berteman dengannya. Jika ada yang berkata ingin balik ke masa kecil, maka Ara akan menolak sambil berteriak tidak ingin atau bahkan dia akan berteriak histeris lewat tangisnya ketika mengingat masa kecilnya yang kelam sedemikian rupa.

"Kamu kurang berusaha. Tampil saja tanpa juara itu belum menjadi apa-apa." Kata Heru, dia berkata seperti itu bertepatan dengan habisnya jam pengunjung untuk menjenguk dirinya.

Ara yang sudah biasa dan mengerti perlahan membisu hanya melihat ayahnya yang berdiri dan kemudian di tuntun menuju ruang imajinasi kembali. Ara tersenyum. Dia yakin bahwa kata-kata ayahnya tadi adalah vitamin untuk dirinya. Iya. Itu perkataan untuk menyemangati dirinya. Bukan perkataan kesal ataupun kurang puas akan hasil yang Ara dapatkan.

Pukul sudah menampakkan keindahannya. Fajar berganti menjadi senja. Mereka saling bekerja untuk bumi, namun tidak pernah sama sekali bertemu ditengah ataupun diujung untuk saling bertatapan beberapa detik. Fajar yang panjang menunggu senja, senja yang hanya sementara muncul memancarkan indahnya ketika fajar benar-benar tenggelam. Langit yang menjadi ruangnya, dan manusia yang hanya bisa menontonnya ataupun mengeluhkan keduanya. Semesta memang suka sekali dengan drama. Apalagi drama anak manusia.

Seperti biasa, gadis kecil itu duduk di taman bermain tempat masa kecilnya dahulu, lebih tepatnya di kantor tahanan. Entah Ara pun tidak tahu jelas kantor tersebut tahanan untuk jenis seperti apa. Sesekali Ara diajak bicara dengan beberapa pengunjung atau bahkan pekerja di kantor tersebut, mereka berbicara dengan Ara hanya untuk mengingatkan, bukan untuk berbicara dengan pelukan yang menghangatkan. Tidak, bagi Ara semua orang saat itu yang mendekatinya hanyalah kasihan padanya atau mungkin merasa terganggu akan kehadirannya.

Begitulah potongan masa kecil Ara. Perlahan memorinya berputar tanpa henti. Bahkan kehidupannya sama pahit ketika dirinya sudah dimasa remaja atau bahkan sampai dirinya memasuki bangku sekolah menengah. Tidak ada yang berbeda, mungkin pernah ada tawa, namun seketika tawa tersebut berganti dengan kecewa.

Ara menyusun setiap lembar kehidupannya, Ara resapi setiap luka dan juga tawa yang pernah hadir di kehidupannya.

Tanpa bisa ditahan, airmatanya menetes tak terbantahkan. Setelah dirinya memutar semua potongan-potongan kehidupannya dari kecil sampai sekarang, ternyata hidupnya tetaplah begitu-begitu saja. Tak ada yang berbeda. Tidak ada yang berwarna. Mungkin pernah ada yang mewarnai kehidupannya, tapi itu hanya sementara, yang kemudian pergi meninggalkan Ara bersamaan dengan luka.

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang