Ilusi 10

168 56 10
                                    

Bandar Lampung. Maret, 2016.


Arno mengetuk berulang kali pintu kamar Ara. Namun tidak ada jawaban. Sebelum membuka pintu kamar Ara yang tidak terkunci, lelaki itu membuang nafas sejenak. Dengan perlahan ia membukan pintu kemudian kepalanya menyembul, menyadari tidak ada perubahan kalau-kalau dia di timpuk buku Ara yang tebal-tebal, maka dengan leluasa lelaki itu dengan sempurna masuk di kamar bernuansa monoton ini. Arno mendapati adiknya sedang tidur dengan tangan yang menjadi tumpuannya, dalam posisi duduk.

"Ara." Dia menoel bahu Ara. Tidak ada penolakan di telinganya. Dengan cekatan Arno menggendong Ara dan memindahkannya berada di kasur. Setelah itu dia berjalan lagi ke meja belajar Ara. Buku-buku berantakan di meja, bahkan ada yang terjatuh. Namun, satu buku mungil yang menyita penglihatan Arno.

"Puisi." Gumam Arno. Dia membaca teliti puisi buatan Ara yang penuh makna itu. Hingga sudah sampai kalimat paling bawah, dia belum mendapati keterangan penulis, tempat atau apapun yang menerangkan bahwa puisi itu memiliki hak cipta. Seketika bibirnya tercetak jelas, menimbulkan senyum jahil.

"Cantik." Tanpa di suruh, Arno menambahkan nama penulis dan juga keterangan di bawah puisi yang Ara tulis tadi.

Ttd,
Arno Widodo, putra kesayangannya bapak presiden Jokowidodo.

(Keterangan ; jangan marah. Tanggal? Pikir aja sendiri.)

Arno terkekeh melihat hasil karyanya. Iya, karya menambahkan nama dan keterangan si penulis. Ketika Ara bangun dan melihat semua ini, sudah dipastikan dirinya benar-benar jadi dadar gulung kesukaan gadis itu. Atau bisa saja dia dilempar dengan buku-buku tebal yang memualkan jika di baca. Tapi, lelaki itu tidak memperdulikan hal tersebut. Baginya, membuat Ara berkata panjang kali lebar karena ulah jahilnya adalah sesuatu yang membanggakan.

Kali ini pandangan Arno tertuju pada alat music kecil. Ia meredam semua rasa kesalnya. Lagi dan lagi Arno bergumam sendiri. "Terkadang cinta membuat lo sengsara Ra. Hal yang tidak lo suka membuat lo menjadi gila. Bukan karena alat musiknya, tapi penyebab pemiliknya."

"Rasya."

Arno menekan nama itu. Bukan menjelaskan kata-katanya tadi diperuntukkan kepada Rasya, tapi karena ponsel Ara yang bergetar di dekat alat musik itu, dengan jelas layar ponsel itu tertera nama Rasya Ganteng. Arno mendengus sesaat, kemudian di acuhkannya panggilan tersebut dan ia tetap fokus membereskan meja belajar adiknya yang berserakan dengan buku-buku. Setelah itu, Arno melangkah ke kasur untuk memeriksa keadaan Ara. Di tariknya selimut sampai sebatas leher Ara kemudian dengan sayang Arno mencium kening Ara. Cukup lama dan menyampaikan makna.

"Selamat malam, ratu ilusi." Setelah mengucapkan itu, Arno kembali ke meja belajar lagi. Dia mendengus melihat nama yang masih sama tertera di ponsel itu, dengan kesal Arno meraih benda pipih tersebut lalu mengangkat teleponnya.

"Apa." Bukan seperti pertanyaan melainkan kekesalan.

Di seberang telepon tawa khas Rasya terdengar jelas. Arno melihat kembali layar ponsel itu sambil berdecak, kemudian ditempelkannya lagi berada di telinga.

"Ara mana?" Pertanyaan itu muncul dari balik telepon. Bukan suara jenaka lagi yang Arno dengar, namun sebuah suara yang benar-benar penuh penekaan.

"Tidur."

Di seberang sambungan, Rasya mengangkat alisnya. "Lo masuk kamar cewe sembarangan, kalau sampai terjadi macam-"

"Gue abangnya bodoh, lain hal kalau itu lo." Suara Arno terdengar tidak bersahabat.

Sedangkan Rasya hanya menghela nafas, dia tadi hanya bermaksud bercanda, namun sepertinya Arno sedang tidak dengan kondisi yang baik-baik saja.

"Yasudah, gue cuma mau memastikan kalau Ara sedang baik-baik saja."

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang