"Ra boleh bertanya?" Alaska membuka pembicaraan diantara mereka, yang sudah hampir setengah jam hening dan sibuk akan pikiran masing-masing.
"Bukannya itu udah bertanya?" Ara menjawab seadanya, ia masih menikmati belaian udara yang menusuk sampai inti tulangnya.
"Hal lain."
"Silakan, masih dibuka."
"Kalau hatinya?"
"Maksudnya?" Ara menoleh. Mereka sedang dibawah sinar rembulan malam ini.
"Apa pintu hati kamu masih dibuka untuk orang baru?" pertanyaan itu lolos membuat Ara tertegun sebentar, ia menoleh menatap mata coklat terang yang tegas itu. mencari-cari jawaban di kedua retina tersebut, namun dia tidak menemukan apapun, hanya sebuah ketulusan yang terpancar dari kedua mata itu.
"Sudah lama terkunci rapat." Ara menjawab lugas namun dengan intonasi yang hampir saja seperti berbisik.
"Tapi penghuninya ada?" lagi, bukan namanya Alaska kalau begitu saja langsung menyerah.
Ara diam. Ia bahkan mengulang berulang kali pertanyaan itu. "Apa ruang hatinya sekarang masih sama penghuninya? Apa rasya masih menetap direlung hatinya? Atau hanya kenangannya saja yang belum sepernuhnya hilang?" Ara menggeleng.
"Sudah tidak ada?"
Ara menoleh lagi. Ia terdiam. Mata mereka beradu.
"Maaf saya tidak bisa." Ara membuang pandangannya. Ia menatap langit. Setidaknya Alaska benar, bintang tidak kalah indah dibanding rembulan.
"Saya mengerti." Ia menatap lurus dengan pemandangan yang luas dan gelapnya malam.
"Tidak ada yang bisa mengerti pikiran serumit saya. Bahkan diri saya sendiri."
"Kamu terlalu tertutup Ra."
"Sudah banyak kecewanya,"
"Imbang sesuai porsinya."
"Terlalu banyak kecewanya." Mempertegas apa yang ia rasakan selama ini.
"Bagaimana kamu bisa menerima bahagia, kalau pintu hati itu kamu kunci rapat-rapat." Alaska menatap mata besar dan teduh milik Ara. Melihat itu mengingat Alaska akan lagu Distant Sures, penyanyinya The Cave Singers, yang sering ia putar ketika sedang berada dititik kebingungannya. Melihat kedua retina milik Ara, seakan semua kebimbangannya terjawab.
Ara tidak membalas. Ia masih menikmati langit malam ini dari lantai paling atas gedung pusat perbelanjaan dikota ini. Cukup lama tidak ada percakapan lagi diantara mereka. Alaska dengan pikirannya dan Ara yang masih menelusuri ruang hatinya.
"Ra,"
Ara menoleh.
'Saya bersedia jadi kekasih kamu." Kata Alaska tegas. Tidak main-main. Dengan penuh keyakinan. Mata mereka bertemu. Saat itu juga lagu miliknya Bob Dylan dengan judul Make you feel my love bersenandung diimajinasinya, ia merasakan setiap bait lirik lagu Bob Dylan selaras dengan detak jantungnya. Malam itu, Alaska memberanikan diri untuk mengambil selangkah lebih maju yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
Ara melotot. "Saya tidak bertanya apalagi meminta." Jawab Ara cepat tanpa mempertimbangkan.
"Ya saya tidak meminta kamu bertanya. Saya hanya bicara kalau saya bersedia. Sudah itu aja." Tegas Alaska lagi. Iya, dia tidak meminta Ara untuk menjawab apakah ia bersedia atau tidak. Ia hanya member pernyataan bukan pertanyaan. Dia hanya meminta ara untuk merasakan rasa itu, seperti makna lagunya Bob Dylan, Make You Feel My Love.
"Saya tidak." Ara memutuskan sepihak tatapan mata itu. Alaska diam sejenak, ia harus siap, karena ini sebuah keinginannya menyatakan sebuah kesanggupan, bukan soal penolakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Roman pour AdolescentsTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...