Ilusi 13

135 34 15
                                    

"Terkadang kita dibuat bingung oleh semesta.

Dibuat luruh akan rasa dan juga dibuat kecewa akan luka."

-Aulia Trisia

****************


Ara berbalik arah. Tidak ada nafsu lagi untuknya olahraga. Memikirkan ini begitu kompleksnya. Ia jalan menuju rumahnya dengan gontai, tak berdaya. Selalu saja keadaan tidak berpihak kepadanya.

Sekali saja, jangan mempermainkan dirinya, sekali saja tidak membuat Ara gila. Benar-benar, ini ilusi. Tadi dengan sejuta harapan dia datang kembali lalu baru di ketuk sekali sudah pergi. Kalau dia manusia bukan bayangan, harusnya tidak mudah pergi begitu saja. Seharusnya Ara menyadari, semua kenangan itu hanyalah ilusi, dan yang terjadi baru-baru ini hanyalah imajinasinya. Harusnya, iya harusnya dia tidak perlu berharap lagi.

Seperti ratu ilusi yang kehilangan ruangnya. Tidak tentu arah untuk menjejaki setiap langkahnya.

"Ra." Suara itu menghentikan langkah Ara yang baru saja ingin naik tangga menuju kamarnya.

"Lo kenapa sama Rasya?" Itu suara menyebalkan kakaknya.

Ara menoleh kemudian melangkah mendekati Arno yang sedang berdiri di ruang tengah, karena tangga yang menghubungkan lantai atas langsung menghadap ke ruang tamu.

"Sebenarnya Rasya itu siapa, kak?"

Arno seketika tertawa kemudian menoyor kening Ara yang berjarak 2 langkah darinya.

"Lo itu bodoh atau memang gila? Pertanyaan konyol macam apa itu."

"Kak, gue serius..." Ara menunduk lemah.

"Kenapa lo bertanya kayak gitu?"

"Karena dia selalu datang tanpa diharapkan, dan hilang begitu saja tanpa diinginkan."

Arno menyungging senyum khasnya.
"Sini." Dia menarik tangan Ara untuk duduk di sofa yang terdekat.

"Coba lo keluar dari dunia imajinasi itu. Coba biarkan saja sesuatu yang datang dan jangan pertanyakan juga kenapa sesuatu itu menghilang."

Ara menatap wajah Arno dengan sedatar-datarnya namun mata itu mengisyaratkan bahwa dia lelah untuk berpikir. Arno menghela nafas kemudian ikut duduk di samping Ara.

"Sepertinya persepsi gue tentang lo yang mengidap maladaptive day dreaming itu sekarang sudah berangsur membaik dan mulai berkurang."

"Maladaptive?"

"Ya, semacam suka melamun dan juga berhalusinasi."

"Jadi benar kalau Rasya itu cuma imajinasi yang gue buat?"

Arno menghela nafas lagi. Sepertinya ini begitu berat. "Bahkan lo aja gak bisa mengenali apakah dia hanya imajinasi untuk lo atau memang nyata."

"Gue bingung kak, ini terlalu rumit dan terlalu sakit. Juga kedatangannya lagi membuat gue terlalu sulit untuk menerima dan membedakannya."

Lagi. Ara mengucapkan semua itu dengan datar, dia seperti orang yang sedang menelusuri masalalu itu dan mulai melakukannya.

"Begini." Arno menepuk pundak Ara. Setidaknya fokus dia tidak sepenuhnya untuk melamunkan hal yang menyakitkan itu.

"Selama dua tahun ini, yang gue lihat lo itu selalu saja melamun, kadang tiba-tiba tertawa disela lamunan itu dan seketika juga lo menangis saat menyadarinya. Bahkan lo juga menarik diri dari keramaian."

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang