Prolog

1.3K 345 172
                                    

Jakarta, 2020.

Seperti mengecap bubuk hitam yang di seduh ke dalam gelas, jadilah kopi. Seperti itu rasa, ketika kopi yang di kecap pahit terasa. Tak mau pergi, tetap membekas di lidah. Kali ini di hati, tak menjadikannya indah.

"Masih aja di sini." Celetuk gadis dengan rambut panjang sepinggang yang dicat warna kecoklatan. Entah karena efek sinar matahari atau memang warna rambutnya ia buat seperti warna kecoklatan pirang. Gadis yang diajak bicara oleh gadis pirang itu menoleh dengan wajah datar. Wajahnya amat tenang, seperti tidak memiliki beban apapun. Mereka saat ini sedang berteduh di pinggiran gedung kampus. Gadis berwajah datar dengan rambut sebahu itu melempar pandangannya kedepan, ia sesekali memejamkan matanya untuk menghirup lamat-lamat aroma petrichor. Bumi sedang dihujami berkali-kali karena awan sedang menangis. Ya. Hujan sedang turun. Dua perempuan yang bertolak belakang sifanya itu adalah sahabat karib. Mereka bertemu di perguruan tinggi negeri. Untuk pertama kalinya mereka saling membenci namun, rasa benci ketika saja berubah menjadi saling mengasihi. Mungkin karena bertolak belakang itu bisa saling melengkapi.

"Hujan itu bahagia, bukan?" gadis pirang itu membuka lagi pembicaraan. Selalu.

"Definisi bahagia itu sulit di rasa. Karena bahagia bukan tentang Hujan, Matahari, Senja, atau pun Bumi dan Manusia. Tapi tentang...." Gadis berwajah datar itu masih saja memejamkan matanya. Menikmati tetes demi tetes air yang menggenangi Ibu Kota.

"Tentang kecewa?"

Mendengar kata kecewa sontak saja membuat gadis yang berwajah datar itu menatapnya tajam.. Merasa tersindir, mungkin perihal pernah merasakan. Baginya bahagia dan kecewa sama saja. Sama-sama karena cinta. Atau karena harapan yang terlalu tinggi dengan kenyataan.

Bola mata besar dan legam gadis berwajah datar itu menyimpan isyarat yang tidak bisa dibaca. Seakan-akan matanya yang berbicara. Mereka saling tatap. Dua gadis itu memiki aura yang sama. Sama-sama tidak bisa terkalahkan.

"Kamu gak tau apa yang saya rasa. Jadi jangan sok tahu tentang apa saja. Apalagi perihal cinta dalam kehidupan saya."

Gadis berwajah datar itu menatap tajam, rasa panas yang menjalar di dadanya begitu membuncah. Ia tidak marah, tidak sama sekali. Hanya saja dia bisa berubah nada bicara dan caranya menatap orang tergantung dengan suasana semesta dan juga hatinya yang sedang tidak sedang baik-baik saja.

"Ini hal yang buat semua orang menjauhi lo, Ra." Kali ini gadis pirang itu membuang nafas kasar. Ia merasa berubah menjadi lebih baik sejak berteman dengan gadis yang berwajah datar dan keras kepala itu. Sifat yang egoisnya perlahan menyusut hanya karena memahami sifat sahabatnya itu. ya, gadis berwajah datar. Arasia Lintang. Cewek super cuek. Tapi di gilai ratusan cowok. Dulu, ketika sikap cueknya yang masih dalam taraf wajar.

"Kali ini hujan bertemu dengan pelangi, tapi itu yang membuat matahari cemburu." Ucap Ara.

"Definisi Jagad Raya tentang hujan, pelangi dan matahari. Lagi dan lagi." Gadis pirang itu menimpali.

Ara terkekeh menanggapi. "Lo tau gak, kalo semesta itu punya makna sendiri. Kadang manusia aja gak peka untuk memahaminya."

"Berarti gue bukan manusia."

"Terus apa?"

"Bakteri. Pake ditanya."Gadis pirang itu gemas. Ia ingin rasanya memaki-maki Ara. Tapi ia tahu, ini belum saatnya.

Ara tertawa, tidak terlalu keras, seperti hatinya yang sulit untuk ditakluki.

"Kenapa lo suka hujan?"

Ara menggeleng. "Gak. Gue gak suka hujan."

"Terus?"

Ia menghela nafas. "Hujan itu seakan-akan mewakili perasaan ."

"Lalu?"

"Hanya saja karena hujan selalu membuat gue teringat akan sebuah kenangan."

"Dengan?"

"Dua anak manusia yang suka sekali dengan coklat panas."

"Bukankah lo suka coklat?"

"Ya. Coklat. Tapi bukan dengan minuman coklat panas. Kan lo tau gue pencinta kopi."

"Pantes."

"Kenapa?"

"Yang dicintai kopi, bukan laki-laki. Gak salah kalo lo menjomlo sampai sekarang."

"Heh." Ara melayangkan tangannya di bahu gadis pirang itu.

"Bener kan?"

"Apa?"

"Jomlo."

"Ngeledek, heh? Emang situ gak jomlo apa" Ara melirik sinis sahabatnya itu. Kadang hal nyebelin dari gadis itu membuat suasana hatinya makin membaik. Di tengoknya hujan yang sudah mulai berhenti, hanya sisa tetes air yang turun dari pepohonan atau seng tempat teduhnya sekarang ini.

Gadis pirang itu tertawa puas, kemudian air mukanya berubah seketika

"Ra. ARA!" Ia menepuk jidatnya.

"Ada apa?"

"Tanggal berapa sekarang?!"

Ara mengambil gawainya di saku celana. Kemudian dia menunjukan zona hari dan waktu yang tertera di wallpaper gawainya. Kemudian ia merasakan tepukkan keras dibahunya.

"Bodoh! Lo lupa hari ini ada janji? Ayo, bentar lagi udah mau mulai acaranya."

"Janji?" Ara masih menerka-nerka, apakah ia punya jadwal atau tidak. Tapi otaknya tidak menghirup oksigen dengan sepenuhnya, membuat otaknya berputar lamban.

"Seminar, launching atau semacamnya apalah itu, gue juga baru lo kasih tau seminggu kemarin."

"Ah iya!."

"Lah, makanya gak usah kebanyakan mikir. Jadi gini nih, pikun belum saatnya."

Gadis pirang itu menarik tangan Ara."Ayo. Cepat, pesan ojol. Mau naik angkutan umum gak akan keburu. Lagian lo sih, udah purnya kendaraan sendiri malah jadi koleksi." Ia mengoceh sambil tangannya menarik Ara. Mereka berdua jalan diantara genangan air karena hujan yang cukup lebat beberapa saat tadi.

"Gue bingung, sebenarnya hujan itu membuat genangan atau teringat akan kenangan sih?" Gadis itu melontarkan pertanyaan dengan spontan. Ia cukup kesal karena hujan baginya membuat tanah makin lengket dan juga menimbulkan beberapa genangan.

Langkah Ara berhenti mendengar kata-kata yang terlontar barusan, membuat gadis pirang itu menoleh dengan tangan yang masih saling mengkait.

"Kenapa lagi?"

Ara mengerjapkan matanya, ia melirik tangannya. "lepasin dulu."

Gadis pirang itu melipat kedua tangannya didada. Ia mengangkat satu alisnya.

"Mau apa?"

"pesan ojek online kan?"

"Iya, cepet."

"Yaudah disini aja."

Gadis itu melempar pandangannya. Mereka terdiam beberapa menit sampai kendaraan yang dipesan pun datang.

"Ra. Kalau nanti lo gak bisa cerita pas di acara gak usah dipaksa. Lo biarkan aja tulisan yang berbicara dengan lantang."

Ara menghela nafasnya. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasa. Sebelum masuk ke dalam kendaraan ia sempat memejamkan matanya dan merapalkan beberapa kata dalam sunyi. Ia menatap ke angkasa. Menyampaikan sesuatu yang lebih lantang terdengar oleh semesta tanpa harus berkata.

******

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang