Bandar Lampung, Januari 2013.
Hujan deras membasuh seluruh kota saat ini. Rasya sedang menunggu jemputannya, bukan ayahnya yang akan menjemput, tapi sopir pribadi keluarganya. Pak Kasmin, sopir keluarga sejak ia kecil betugas kembali ketika Rasya tiba di kota ini. Ia belum boleh untuk membawa kendaraan sendiri, pun peraturan di negara ini yang melarang anak dibawah umur tujuh belas tahun untuk mengendarai kendaraan sendiri. Rasya menoleh, bahunya ditepuk seseorang.
"Lagi nunggu apa?" Itu suara Arno. Mereka berteman cukup dekat. Rasya maupun Arno memang dua kali masuk sekolah yang sama. Mereka sebenarnya saling mengenal ketika duduk dibangku sekolah dasar, kemudian setelah lulus SD Rasya pindah sekolah dan bertemu kembali ketika SMP ini. Lagi-lagi kehidupan Rasya adalah nomaden. Sudah memasuki kelas tiga di bangku SMP namun, ia masih saja santai untuk pindah tempat sekolahnya. Dengan alasan ia lebih nyaman di kota kelahirannya. Namun dibalik itu semua dia ada alasan yang lain.
"Biasa. Jemputan. Lo belum balik?"
"Ini mau balik."
Rasya mengangguk.
"Mampir ke rumah gue yok." Arno menawari. Sejujurnya selama mereka berteman, sama sekali Rasya belum main ke rumah Arno dan kenal dengan keluarganya. Begitupun sebaliknya.
"Boleh. Sekalian bareng gue aja. Itu pak Kasmin udah di depan." Rasya melirik ke pagar depan. Ia mengenali bahwa itu mobil yang biasa pak Kasmin bawa untuk mengantar jemputnya.
Mereka kemudian naik ke mobil dan menuju rumah Arno. Setelah kurang lebih 15 menit membelah jalan di siang menuju sore hari, yang mana kota ini belum terlalu ramai oleh kendaraan sehingga dengan cepat mereka sampai tempat tujuan.
"Halo tante." Rasya menyapa mamahnya Arno yang berjalan dari dalam rumah. Pintu rumah Arno memang terbuka lebar. Jadi tidak perlu untuk terlebih dahulu mengetuknya.
"Masuk-masuk. Duh tante habis beres-beres rumah. Maaf agak berantakan."
"It's ok tan." Kemudian Rasya mengikuti Arno melangkah masuk ke rumah yang berlantai dua. Rasya melihat disekelilingya. Ada beberapa hiasan rumah dan juga barang pecah belah yang jatuh berserakan di pojok ruangan. Ia mengerutkan dahi. Sepertinya barang itu habis terjatuh atau sengaja ada yang melemparnya baru-baru ini. Pun dengan kondisi rumah yang cukup berantakan.
"Gak usah dipeduliin. Semua itu ulah bokap gue. Dia jarang untuk balik ke rumah. Sekalinya ke rumah, semua dihancurkan dengan tangan bodoh itu." Arno mengucapkan dengan intonasi menusuk. Tatapannya datar.
Yanti menghembuskan nafas yang berat. Dia mendekati kedua anak laki-laki itu. "Yasudah. Kalian ke atas saja. Bawa teman kamu ke atas Nak." Yanti tersenyum kepada mereka.
"Oh iya, saya belum memperkenalkan diri. Saya Rasya tante." Rasya menjulurkan tangannya kemudian Yanti meraihnya, namun Rasya bukan hanya menjabat tangan itu, ia kemudian menyalimnya. Senyuman lebar tercetak jelas diwajahnya.
"Yasudah naik gih. Jangan sungkan-sungkan ya Nak Rasya. Anggap saja saya orangtuamu dan ini rumahmu." Yanti memegang bahu Rasya. Sedetik kemudian Rasya merasakan kehangatan yang menjalar diseluruh tubuhnya.
Mereka naik ke lantai dua. Sebelum menuju kamar Arno, mereka melewati kamar Ara. Arno berhenti tepat di depan kamar Ara. Ia memegang knop pintu dan kemudian membuka lebar pintu kamar itu.
"Kenapa No?" Itu suara Rasya. Ia berada dibelakang Arno. Rasya ikut melirik ke dalam kamar tersebut.
"Gak apa-apa. Gue kira ada adik gue." Jawab Arno santai. Setelah mengecek kamar adiknya yang ternyata belum pulang, ia menutup kembali pintu itu kemudian melangkah ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Teen FictionTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...