"Bersama denganmu, aku jadi tahu bahwa bahagia iti sesederhana ini."
- Aulia Trisia
*******
Arno Widodo terkenal humoris namun terkadang ia bisa sadis. Arno tidak pernah main-main soal cinta, walaupun dia pencinta wanita. Warna kulitnya putih hampir mirip Ara, rambut yang hitam legam, namun yang berbeda dengan warna matanya. Retina lelaki itu berwarna hitam terang nan menikam. Sedangkan Ara hitam legam. Gayanya seperti bad boy dan kebiasaannya adalah hal yang di benci Ara."Bro, lomba basket tinggal seminggu lagi. Gimana dengan persiapan lo?" Ucap lelaki yang berseragam sekolah sama dengannya.
"Gak gimana-gimana." Arno menjawab dengan singkat, berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Terkadang dia bisa bersikap dingin pada siapa saja namun, hanya kepada orang tertentu Arno dapat meredam itu semua.
Dihisapnya sekali lagi rokok yang sudah memendek di sela-sela jari tengah dan telunjuknya, ketika rasa manis sudah hilang, ia melempar ke bawah sisa puntung rokok itu kemudian diinjaknya.
Arno bangkit dari duduk kemudian mengambil jaket kulit yang berada di atas meja café tempat favorit dia dan teman-temannya nongkrong.
"Gua cabut, besok latihan." Arno berlalu dengan wajah datar.
Ditatapnya sekilas wajah kelima teman-temannya itu, diantara mereka berlima hanya lelaki bernama Angga yang merupakan teman terdekatnya, bukan apa karena dia dan Angga sudah terlebih dulu saling kenal diantara yang lain.
"Lo mau kemana bro?" Kiki melempar pertanyaan lagi sambil sedikit berteriak karena Arno sudah melangkah jauh.
Sedangkan yang lain hanya bertanya lewat tatapan matanya, berbeda dengan Angga yang tak mau ambil pusing, ia tahu pasti Arno merasakan lara akibat luka yang dibuat oleh orang terdekatnya.
"Apa?" Angga bertanya acuh ketika teman-temannya menatap untuk meminta penjelasan.
Tipikal Angga dan Arno tidak beda jauh, membuat teman-temannya yang lain menelan ludah berkali-kali jika ingin berkomunikasi dengan sejenis mereka berdua.
********
Motor ninja merah itu menderu memasuki perkarangan rumah yang bernuansa dan dominan berasitektur antik. Arno terburu-buru melepas helm dan turun dari motor ketika melihat pintu rumah terbuka."Ada apa?" Suaranya meninggi memasuki rumah ketika melihat seisi ruang tamu berserakan dengan barang-barang yang sudah pecah.
Hancur diihatnya, yang lebih mengerikan wanita kesayangan yang disebut Ibu sedang duduk di lantai sambil menangis tersedu-sedu, seketika hati Arno ngilu.
Tanpa menunggu waktu lama, Arno keluar kemudian memacu kembali motor ninja itu dengan kecepatan kilat. Wajahnya mengerikan saat ini.
Dari kejauhan, di ujung gang sana Arno melihat lelaki yang paling dibencinya. Ketika motornya sudah dekat dengan lelaki itu, Arno turun dari motor kemudian berlari satu meter dengan kekuatan tangan yang dikepalnya. Tepat saat itu juga tinjuannya melayang ke wajah lelaki paruh baya itu.
Lelaki yang sudah berumur itu jatuh ke aspal, ia ambruk. Namun anak muda itu tetap saja membabi buta melayangkan tinjuan kepadanya. Lagi dan lagi tanpa di beri jeda saat melakukannya.
"Jangan berani saja kepada wanita. Lawan saya." Titahnya saat Arno sudah menghentikan pukulannya dan kemudian dia menarik kerah baju Heru, ayah kandungnya. Arno menatap ayahnya dengan mata elang yang ingin memangsa, jarak mereka sangat dekat saat ini, membuat Arno bisa berbicara sangat intens kepada Heru. Sedangkan lawan bicaranya hanya menunjukan wajah tanpa dosa dengan setengah sadar.
"Cih." Arno membuang ludahnya kesamping ketika tak sengaja menghirup bau alkohol yang sangat menyengat dari mulut lelaki paruh baya itu.
"Saya tahu kadar cinta anda akan wanita yang pertama lebih besar daripada ibu. Bahkan tak ada sama sekali rasa itu, jika anda cinta tidak mungkin berani untuk menyakitinya." Arno berbicara sambil mencondongkan wajahnya untuk lebih dekat menatap kedua mata Heru, beberapa saat ia sengaja menjeda ucapannya.
Ketika Arno ingin berbicara lagi kemudian diurungkannya tak jadi. Percuma saja pikirnya, jadi sebagai gantinya dia melayangkan tinjuan bertubi-tubi ke wajah lelaki tua tersebut.
Setelah itu Arno meninggalkan Heru yang sudah tak berdaya berbaring diaspal, persetan dengan masalah dirinya sebagai anak, karena untuk saat ini dia berhadapan sebagai lelaki, bukan sebagai seorang anak dari lelaki itu.
Karena kalau ayahnya tidak bisa mengajari arti kesetiaan seorang lelaki kepada ibunya, maka Arno yang akan mengajarinya dengan bersikap selayaknya lelaki melindungi seorang wanita walaupun dengan cara kekerasan seperti itu. Arno tahu itu tidak baik, namun selama ini dia sudah meredam amarahnya dan masih menghargai Heru sebagai ayahnya. Tapi tidak dengan hari ini. Karena hari ini Heru sudah benar-benar menyakiti ibunya bukan hanya dengan kekerasan fisik saja, tapi sudah menyangkut mental.
******
Kedua kalinya motor ninja merah itu terparkir mulus di dalam halaman rumah, Arno sedikit melirik mobil hitam yang terparkir di depan gerbang. Ia mengangkat alis lalu membuang acuh pandangannya.
"Mamah–-" Arno seketika memenggal kalimatnya, ketika sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kanannya.
Dia meringis nyeri dan memegang pipinya yang memanas merah. Arno menajamkan mata, iris matanya menyipit tajam menangkap orang yang dengan berani melakukan hal tersebut.
Langkah kaki Arno maju untuk mendekat Ara dan matanya menatap dengan pandangan seperti binatang yang ingin memangsa.
Ara hanya menggigit bibir bawahnya sambil sedikit menunduk, dia merasa bersalah melakukan itu, tadi dirinya hanya terbawa emosi ketika melihat kondisi ibunya seperti itu dan Arno tidak sedang di rumah, malah yang Ara dengar dari ibu, kakaknya itu baru saja sampai di rumah namun seketika itu pergi tanpa sepatah kata dan sekarang datang dengan berkata "mamah". Seenaknya saja bukan? Tapi Ara menyadari bahwa dia sudah salah paham, sepertinya.
"Huft, manis sekali tindakanmu."
Arno berbicara dengan kekehan manis ketika jarak mereka hanya satu kepal tangan, kemudian di acak-acaknya rambut Ara, gemas.
Sudah dibilang, sikap Arno sangatlah berbeda jika berhadapan dengan keluarganya, tak sama saat dia dengan teman-temannya.
"Hm, ada tamu rupanya," kepala Arno memiring menangkap pria seumuran dengannya berdiri tegang di samping Yanti, mamahnya.
Rasya seketika menunduk ketika tatapan matanya beradu dengan Arno."Ma-a-af, saya tidak tepat untuk bertamu." Ucap Rasya gugup saat Arno perlahan berjalan menghampirinya.
"Baik," Rasya melirik bahunya di tepuk-tepuk oleh Arno. Dia bingung harus seperti apa, karena wajah Arno cepat sekali berubah dalam satu keadaan. Bahkan dia melihat senyuman tercetak jelas di bibir lelaki itu, menyembunyikan wajah yang amat gusar. Beberapa detik kedua lelaki itu saling tatap, ada makna di baik mata mereka.
"Mamah." Arno berucap dengan nada lembut dan masih menunjukan senyuman di bibirnya. Dia agak sedikit menggeser langkah ke samping, kemudian menuntun Yanti untuk ke ke kamar seraya dengan beberapa celotehan yang keluar dari mulutnya, seperti:
"Awas hati-hati mah,"
"Ehh.. biarkan saja Arno yang menuntun"
Atau dengan gurauan seperti ini.
"Sttt.... Saya tahu Mah kalau Arno ini tampan, jangan dilirik mulu dong. Jadi shy shy cat Arnonya. Hehe."
Ara menatap nanar punggung kakaknya yang menjauh bersama Yanti, dia mengetahui bahwa Arno bebar-benar hebat dalam menyembunyikan lara dalam tawa. Berbeda dengannya yang tidak bisa membuat orang disekelilingnya bahagia walau dari wajahnya apalagi tindakannya.
"Ehem." Rasya berdeham menyadarkan lamunan Ara. Kemudian dia berjalan untuk memungut barang-barang yang sudah pecah berserakan di lantai. Melihat itu membuat Ara ikut melakukannya, diam-diam sudut bibir Ara melebar dan hatinya menghangat.
"Terima kasih Sya. Lagi-lagi lo selalu ada ketika gue sedang tidak baik-baik saja." Ara berkata dalam hatinya.
*******************
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Ficção AdolescenteTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...