Ilusi 18

51 4 0
                                    

" Dia memang mudah dikenali tapi tidak dengan pemikirannya yang kadang sulit dipahami."

******************


Bandar Lampung. April 2016.

Rasya tidak muncul lagi setelah seminggu dari kejadian di taman komplek itu. Ara menoleh menatap botol beling yang berisi dua tangkai bunga matahari yang sudah layu dan mulai bewarna kecoklatan. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ketakutannya kembali lagi. Rasya menghilang. Dua kata itu yang mewakili benaknya.

Ara menghela napas gusar. Ia bangun dari tempat tidur, kemudian duduk di meja belajar. Ara menyentuh bunga matahari itu kemudian dikeluarkan dari tempatnya. Layu. Dan tidak bisa tumbuh lagi. Karena bunga ini sudah dipetik dan diambil dari pohonnya. Begitupun dengan perasaan. Jangan salahkan dirinya kenapa hatinya belum juga untuk sembuh, dari layu dan juga patah yang saban hari makin kelam. Belum ada titik temu, lebih tepatnya.

Kamar Ara diketuk seseorang, kemudian suara engsel pintu terdengar cukup keras. Muncullah Yanti dengan dres rumahan hampir lusuh dengan motif ataupun bahan yang trendi di zaman 80an. Ara menghela nafas melihat itu. Bahkan untuk baju saja mereka harus memikirkan berkali-kali untuk membeli yang baru. Semua hidup Ara memang sepenuhnya berubah, entah dari segi ekonomi, sosial ataupun batin. Semua perubahan dan juga beban ini sudah dirasakan Ara sejak umurnya sekitar 4 tahun. Bahkan Ara yakini dia dan ibunya sudah menderita sejak ia dalam kandungan. Mereka memang pernah berjaya, tapi tidak untuk kedua orang tuanya. Rumah yang Ara tempati ini merupakan hibah dari neneknya atau orangtua ayahnya.

Dirumah permanen yang berlantai dua, tidak terlalu kecil ukurannya, disinilah tempat masa kecilnya tumbuh. Rumah yang dirangkai pas untuk dihuni empat atau lima orang inilah yang menjadi tempat huni ibu, kakak dan dirinya. Ayahnya sesekali menginjakkan rumah ini, terkadang ia datang sehabis bersenang-senang ditempat lain. Kejadian seperti ini sudah terjadi sejak Ara dibangku SMP dan berlanjut sampai sekarang. Puncak terparah ketika kejadian beberapa bulan belakangan ini. Seisi rumah ini kadang habis oleh tangannya, Yanti juga pernah masuk rumah sakit karena pendarahan di kepalanya. Entah sengaja atau tidak Heru melakukan hal itu. tapi semenjak dirinya tumbuh semakin dewasa ia mengerti bahwa ini tidak baik-baik saja. Ia juga pernah menasehati ibunya untuk tidak bergantung lagi dengan lelaki itu. lagian juga Heru tidak memberikan materi selayaknya kepala keluarga. Semua kebutuhan keluarganya Yanti lah yang mengurus dan mencari.

Pundaknya di tepuk seseorang, ia mengadah menatap wajah itu. kemudian senyumnya pun merekah. "Iya Ma?"

"ada yang mencari kamu, dia sudah nunggu di bawah. Gih, temuin dulu."

"Rasya?"

Yanti terkekeh, kemudian mencuil pipi Ara. "Pede sekali kamu."

"Kalau bukan Rasya siapa lagi?"

"Memangnya siapa lagi?"

"Mah..."

Yanti tersenyum penuh makna, kemudian dia berbalik dan keluar dari kamar setelah itu tanpa berbicara apa-apa lagi.

Andai Ara punya radar seperti fungsi kamera tersembunyi. Pasti dia tidak selalu memperduga-duga teka-teki yang selalu datang dikehidupannya.

"Hai."

Satu kata itu bisa membuat Ara beku seketika. Pasalnya ia tidak tahu mengapa lelaki ini tiba-tiba saja datang dan mengetahui rumahnya.

"Hm?" Ara berjalan kemudian ikut duduk disampingnya.

"Ada apa?"

"Ada masalah?"

"Bukan masalah tapi bagaimana bisa tau?"

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang