Ilusi 23

37 2 0
                                    

Bandar Lampung, 10 April 2016.

Ara mematung menatap dirinya di depan meja rias. Pakaian santai, kaos dengan lukisan tangan karya anak bangsa. Ara menguncir satu rambutnya kemudian memakai kacamata, ia tidak mau mengambil resiko kalau ia salah manggil seseorang ditempat keramaian nanti. Setelah cukup rapih ia menarik tas ransel kecil dengan gantungan ayam. Lagi. Luka masalalu itu kembali lagi. Ara ingin membuangnya jauh-jauh tapi percuma, memori akan ayahnya selalu membekas. Antara ayah dan anak tidak ada kata mantan apalagi bekas. Ara benar- benar kecewa apalagi ketika ayahnya datang membawa anak-anaknya dari istri pertamanya itu. Bukan itu sebenarnya yang paling membuat Ara kecewa. Tapi sebuah kebohongan yang selama ini ayahnya sembunyikan dari ibunya. Apalagi kalau bukan dengan sebuah fakta yang baru diketahui bahwa selama ini mereka menjadi nomor dua.

"Ra, Ayok, nanti kita telat!" Suara teriakan kakaknya memecahkan memori yang sekilas berjalan. Ara mengambil sepatu berwarna silver kemudian berlari ke lantai bawah tanpa melepaskan gantungan ayam itu dari tasnya. Bagi Ara, gantungan ayam itu tidak bersalah, hanya saja moment yang diciptakan itu yang membuat benda tersebut terlihat buruk.

"Pakai sepatu diatas motor aja Ra." Celetuk Arno. Dirinya sudah rapih dengan setelan kaos yang senada dengan Ara. Siapa lagi dalang dari semua ini kalau bukan Arno. Dia memaksa Ara untuk memakai baju pemberiannya dua tahun yang lalu.

"Bodoh. Yang ada nyusahin gue kalau pakai sepatunya di atas motor." Ara menepuk-nepuk sepatunya yang sudah lama ia simpan itu. Setelah selesai memakai sepatu itu kemudian ia berdiri dan berpamitan dengan Yanti.

"Mah, Ara malas dengan Kakak."

"Kenapa? Arno jahil lagi? Kamu bukannya senang bakal nonton festival musik jazz?"

"Kalau gak dengan kak Arno sih happy aja. Ara takutnya festival itu malah akan berganti jadi festival musik dangdut kalau dia ikut."

"Heh." Arno menjitak kening Ara. "Sembarangan lo kalo ngomong. Gak tau aja gue ini jadi salah satu bintang tamu diacara itu."

"Apa?

"Iya. Lo tau kan band blues? Nah gue salah satunya."

"Siapa?"

"Asistennya. Pake nanya."

Ara tertawa kali ini. Apalagi ketika melihat wajah Arno yang sudah mulai kesal.

"Puas lo?"

"Hahaha. Lebih dari puas." Jawab Ara. Kemudian dia berpamitan dengan Yanti.

"Yasudah kalian hati-hati. Ingat jangan ngebut bawanya Arno. Jaga adek kamu. Jangan sampai dia ilang disana." Yanti terkekeh.

"Siap bos!" Arno mengangkat tanganya, tanda hormat.

"Paling-paling kalau ilang anak itu bakal nongkrong ditempat yang sepi trus duduk di bawah pohon." Arno melirik Ara yang sudah berjalan keluar. Kemudian menyalim tangan Yanti.

"Pergi dulu ya Mah."

Yanti mengangguk. Kemudian Arno menyusul Ara yang sudah berada di depan rumah.

"Kayaknya seneng banget." Arno duduk di jok kemudian menghidupkan mesin motornya.

"Apa kita putar balik aja nanti kak, gak usah ke festival jazz." Mudah sekali Ara berubah. Pikirnya, ia pasti tidak akan nyaman diantara keramaian nanti.

"Naik dulu." Titah Arno. Ara menurut. Ia ikut duduk diatas motor ninja berwarna merah milik Arno.

"Pakai helmnya." Perintah Arno dibalik helmnya.

"Tapi kita batal kesana kan kak? Gue gak bisa kalau----"

"Udah pake?"

"Tapi---"

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang