Ilusi 4

503 211 45
                                    

Bandar Lampung, Febuari, 2016.

"Agh!" Ara mengacak-acak rambutnya yang sedang tak di kuncir itu, panjangnya kurang lebih sebahu.

Ia menatap Berulang kali rumput hijau di hadapannya. Bahkan bunga tak mau mekar di daerah sini. Mungkin bunga tahu, bahwa ketika ia mekar maka ia akan layu. Apalagi tak ada yang merawatnya bahkan untuk dijadikan kesayangan oleh manusia adalah hal yang mustahil. Karena manusia itu Arasia Lintang. Ratu cuek nan melankolis.

Ara mendekap alat musik mungil itu, apalagi kalau bukan biola. Ia memetik senar biola itu walau bukan begitu cara memainkan alat musik tersebut.

"Datar amat hidup gue. Tiap kali gesek senar di alat musik ini, bunyi yang di keluarkan begitu-begitu aja. Hambar." Ara berbicara dengan dirinya sendiri. Ia masih duduk sambil mendekap alat musik tersebut.

"Makanya kenal cinta." Suara itu tiba-tiba saja menyeletuk. Ara cepat-cepat menoleh. Ia tak mau ada seorang yang tahu tempat persembunyiannya ketika di sekolah.

"Lo lagi." Ketika mendapatkan sumber suara tersebut adalah kakaknya.

"Biar gak hambar-hambar amat hidup lo." Cowok itu melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong tadi.

"Maksudnya?"

"Maksud gua, lo harus kenal cinta biar hidup gak hampa-hampa amat. Makanya dengerin dari awal kalau orang ngomong itu."

"Dih. Lo aja yang gak jelas kalau ngomong." Ara mengalihkan pandangannya. Cuek.

"Nah kan. Gini nih. Gini." Arno memutar badannya menghadap Ara.

"Apalagi sih kak." Ara malas berbicara apalagi untuk menanggapi orang seperti kakaknya itu.

"Hm." Hanya dua huruf itu yang keluar dari bibir Arno. Ia bingung harus berbicara apa, karena sudah mendapat tanggapan yang tidak baik dari adiknya itu.

Ara melirik Arno. Ia mengangkat satu alisnya. Tumben, biasanya laki-laki itu berbicara gak jelas bahkan lawakannya begitu jayus.

Arno ikut duduk di samping Ara. Pandangan di depannya sama. Rumput hijau dengan bunga yang tidak mau mekar. Ya. Mereka sedang berada di taman belakang sekolah. Pelosok. Bahkan Arno tahu tempat begini karena tidak sengaja melihat Ara melewati kelasnya untuk ke arah taman.

"Tumben lo diem."

Arno menoleh. Tidak ada tatapan yang meledek seperti biasa. Yang ada hanya tatapan sendu darinya.

"Bahkan gua gak bisa merasakan apa yang orang terdekat gua rasa." Arno menatap dalam manik mata Ara. Tersimpan makna apa yang terucap di bibirnya.

Lagi-lagi Ara mengalihkan tatapannya. "Lo terlalu serius."

"Dan lo menganggap semuanya serius."

Ara lantas menoleh. "Karna hidup lo selalu bercanda. Dan gua benci sama orang yang terlalu nyantai untuk hidupnya sendiri." Mata dan birbirnya bergerak seksama menyiratkan keluh kesah yang ada di hatinya.

Lagi dan lagi Arno terkekeh. Ia tersenyum manis namun sinis. Seperkian detik ia membuang pandangan lalu menoleh kembali menatap manik mata rapuh itu.

"Karna bercanda untuk mengalihkan luka yang di rasa Ra."

"Tapi ya gak gitu caranya. Tau-ah!" Ara kesal sendiri. Ingin nangis namun entah apa yang mau di tangisi. Terlalu melankolis dan tidak penting juga.

Ia membereskan alat musiknya lalu menarik tas sekolahnya, kemudian pergi begitu saja dari hadapan kakaknya. Bahkan orang terdekat pun tak ada yang bisa mengertinya. Entah dari dirinya yang tidak mau terbuka atau mungkin ketidakcocokan. Mungkin pula ia yang terlalu di bawa rumit akan masalah yang menghampiri.

Ratu IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang