"Aku benci keadaan. Seakan-akan semuanya diatur dan dipermainkan olehnya dan diriku menjadi tidak berdaya."
(Aulia Trisia, Ratu Ilusi)
*****************
"Kau! Berani sekali membantah. Kau tidak sadar bisa sekolah di sini karena bantuan dari pemerintah! Dan sekarang suka berkilah."
"Terkadang pendiamnya seorang bukan karena dia tak bisa membantah, tapi terlalu banyak pasrah." Ara berbicara datar dan menatap nanar.
Pak Broto sekaligus guru matematika dan juga wakil kepala sekolah. Ia duduk di kursi tahtanya, di meja yang bertuliskan nama lengkapnya dan juga jabatan yang terhomat.
"Sekarang lihat mata saya. Mengapa kau seperti ini? Akhir-akhir ini saya banyak mendengar kabar buruk dari perilakumu."
"Apa yang Anda lihat dan dengar belum tentu benar. Karena apa yang dilakukan pasti ada alasan."
"Kau pandai sekali berkilah. Sekarang ceritakan padaku kenapa kau berperilaku seperti anak nakal yang seenaknya saja dan yakin tidak akan terkena sanksi?" Pak Broto melepas kacamata bulat yang berantai itu.
"Maaf," Ara melirik arloji kotak berwarna hitam miliknya. "Sepertinya sekarang pelajaran bapak, bukan? Saya akan masuk kelas, atau saya dan anda akan sama-sama membuang waktu."
"Opsi kedua itu yang tepat. Kau yang membuang waktu saya. Sehabis pelajaran saya kita bicara lagi. Sebagai hukumannya kau tidak boleh memasuki kelas."
"Baiklah. Semuanya sudah selesai, bukan? Saya akan keluar dari ruangan ini." Ara ingin berdiri, tapi tertahan.
"E-eeee. Kata siapa kau boleh seenaknya saja pergi?" Bapak berbadan buntelan itu mengangkat sebelah alisnya. Nada dan intonasi bicaranya sangat kental dengan bahasa medan.
Kemudian ia berdiri dari kursi lalu mengenakan kacamata. Sebelum ia berbalik keluar ruangan, ia angkat bicara.
"Hukuman kau sekarang, setelah berjemur di bawah terik matahari kemudian menghapalkan not biola, untuk perlombaan 2 pekan ke depan."
Setelah mengucapkan itu, lelaki paruh baya berbadan buntelan itu meninggalkan ruangannya. Sedangkan Ara, ia menghela napas gusar. Ia benci seperti ini. Dasar wanita ilusi yang membuat keadaan semakin tak terkendali.
***
Kondisi kelas selalu saja ramai dari perbincangan. Dan gadis itu membencinya. Arasia Lintang. Ia kelelahan sehabis berjemur di bawah terik matahari. Ara baru tahu begitu rasanya berjemur di bawah terik matahari. Dia begitu beruntung karena selama setahun sekolah di sini, hanya satu atau dua kali ia mengikuti upacara. Itu juga terpaksa."Nih minum." Suara bariton membuat Ara mengangkat kepalanya yang sedang di sembunyikan di kedua lipatan tangannya.
"Untuk apa? Mau mengejek?" Ara membalas dengan wajah cuek.
"Wajah lu udah pucet kayak dadar gulung gitu. Minum dulu gih. Ini juga gua beliin roti cibuan." Lelaki itu yang memiliki suara bariton menyodorkan air mineral botol dan juga roti harga seribuan. Eh. Tapi, tunggu dulu.
"Ini mah bukan seribuan lagi harganya. Udah lima ratusan. Gak berguna amat sih." Ara mengambil air mineral itu. Ditatapnya sinis roti seribuan yang sudah tinggal setengah potong, bahkan seperempat potong saja tak sampai.
"Hehe." Lelaki itu tersenyum manis tapi sadis. "Yaudah kalo gak mau. Buat gua lagi. Dikasih bukannya terima kasih. Ew."
Ia mengambil roti itu lagi kemudian dilahapnya dengan rakus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Teen FictionTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...