"Jika seseorang sangat amat menyukai sesuatu. Pasti ia akan sulit untuk melepas dan mengalihkannya."
( Aulia Trisia )
************
Dalam ilmu psikologi ilusi merupakan ciri-ciri gangguan mental. Aku tak mengelak akan hal itu, apalagi untuk memberontak. Bisa dibilang, aku mulai mengagumimu ketika kamu memainkan alat musik biola dengan sangat lembut, kala itu aku peluk waktu dengan erat, takut tiba-tiba ia terlepas lalu bersenandung dengan alunan biolamu. Aku si Ratu Ilusi penyebutan untuk namaku sendiri,dan kamu adalah huruf-huruf yang ku ukir untuk menjadi puisi. Jangan takut, aku memakai tinta yang tidak luntur mengukirmu. Mungkin jika kertas itu kamu robek lalu di bakar maka huruf-huruf itu akan hilang entah kemana. Seperti langkah kaki ini, entah kemana arah dan tujuannya, mungkin saja tertuju kearah...Ara dengan tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika orang yang ada dipikirannya saat ini muncul di depan mata. Ia takut jika ini hanya ilusi, saat ini Ara butuh Arno untuk meminta sebuah persepsi. Takut tiba-tiba Ara menjadi gila karena melihat sosok yang sama akhir-akhir ini. Baginya itu hanya ilusi dan seperti di dalam mimpi. Satu kaki ia hentakkan di tanah, perlahan lalu semakin cepat kemudian kedua kakinya ia hentakkan juga, nyata! Seketika Ara berbalik badan dan berlari sejauh mungkin, tidak ada tujuan tapi hanya ada satu tempat untuk dirinya mengumpat dibalik kopi hangat.
Tidak jauh dari arah sekolahnya, maka sekarang Ara sudah sampai di depan café seperti biasa. Ia menunduk memegang lutut sambil terengah-engah seperti orang habis lari pagi. Ara menegakkan badannya mengambil nafas dalam-dalam lalu dalam hitungan delapan detik ia membuangnya.
"Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
De-"
"Delapan," suara bariton laki-laki terdengar tepat di belakang telinganya, sontak Ara menoleh ke sumber suara itu.
Deg.
Tatapan elang itu, mata yang hitam legam, alis tebal dan badan yang lumayan berisi selayaknya lelaki. Ara ingin ambruk seketika, mengapa huruf-huruf itu akhir-akhir ini menghantui.
Tubuh Ara gemetar, tangannya kaku dan lidahnya juga kelu. Ia ingin menyebut nama lelaki yang sekarang dihadapannya namun dirinya tak sanggup berkata.
"Maaf." Kata itu yang Ara dengar keluar dari mulut lelaki tersebut.
"Sekali lagi. Maaf." Lelaki itu mendekat dan memotong jarak mereka yang sebelumnya berjarak sekitar tiga langkah. Kemudian lelaki itu melirik sekilas dimana mereka sekarang. Kemudian dia tersenyum kemudian menatap Ara lagi.
Tuhan! Tolong beritahu Ara sekarang, apakah ini ilusinya saja atau memang nyata? Apa karena dirinya masih sulit untuk dilepas dari bayangannya, maka Ara sampai berekspetasi seakan-akan ini nyata apa adanya. Ara mengedipkan kelopak matanya berulang-kali untuk memastikan makhluk yang berada di depannya sekarang ini. Ajaib, dia tidak menghilang, berarti ini benar nyata raganya. Tunggu, Rasya kembali? Lagi? Untuk apa dia datang lagi? Apa maksud semesta melakukan ini? Sekarang Ara berdiskusi dengan logika dan rasanya. Entah menang yang mana.
"Hot chocolate tercium masih sama, yuk masuk ke dalam. Lagian juga kamu sudah berniatan bolos pelajaran bukan?" Rasya mengeluarkan suara, memecah keheningan. Tidak ada balasan dari Ara.
"Ra?"
Tetap sama.
"Ara!" suara hentakan yang sedikit mengagetkan itu membuat Ara tersadar dari lamunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Ficção AdolescenteTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...