Dengkuran keras suara motor ninja merah terdengar kasar dan juga mengebu. Sepertinya bahan bakar motor tersebut meluap. Membuat Ara ikut juga terbakar dengan suara itu.
Ara yang sedang merangkai bait pada buku puisinya, tiba-tiba saja hilang fokus karena suara motor yang cukup mengganggu tersebut. Hilang sudah semua kata-kata yang melayang di kepalanya tadi. Ara menoleh menangkap jam dinding yang sudah menunjukan pukul 20.35.
Ara menutup buku bersampul biru abu-abu. Buku kumpulan puisinya. Judulnya yang sarkatis. Bikin ulu hati terkikis.
Puisi, sepi dan sendiri.
Ara menghempaskan tubuhnya ke kasur tanpa ranjang. Ketika ia memejamkan matanya untuk menetralisirkan kejengahan, suara motor yang sedang berdeham keras itu berbunyi lagi.
"Ini Arno pasti. Kenapa lagi sih itu anak?" Ara menutup wajahnya dengan bantal, dia menggeram.
Karena kepo, pada akhirnya Ara bangun dari tempat tidurnya lalu berjalan ke arah jendela besar tersebut. Di bukanya sedikit gorden berwarna gold itu. Ara melihat Arno mengendarai motor ninja merah itu dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Ia meneliti raut wajah Arno.
"Ada yang aneh."
Ara berjalan ke balkon kamarnya. Dari sini ia bisa melihat dengan jelas langit yang membentang dengan indah dan juga balkonya yang berada di lantai dua. Ara mengadahkan kepalanya.
"Malam ini langit gembira, bintang juga bercahaya. Tapi ada yang kecewa? Huft..."
Ara menatap sekali lagi pagar rumah yang terbuka karena kepergian motor ninja merah itu.
"Sepertinya lo lagi gak bersinar seperti bintang kali ini kak. Mungkin lo butuh matahari besok pagi?"
Gadis itu masuk ke kamarnya lagi. Lalu berlari kecil keluar kamar menuju lantai bawah.
Hatinya mencelos.
Berantakan.
Piring, gelas, guci, vas, sampah. Sampah untuk yang berbuat ini. Ia memaki.
Ara perlahan menuruni tangga. Di pojok ruangan ia mendapati wanita paruh baya sedang duduk menangis membekap wajahnya dengan kedua tangan.
"Pura-pura?"
Ketus. Tak di gubris.
"Kecewa Heh?" Ara mendekati lalu bertanya tidak sopan. Ara menatap sekelilingnya. Berantakan. Ia menyukai melihat semua ini. Bahkan ia sampai terkekeh sinis.
Di liriknya wanita paruh baya itu. "Perihal wanita yang pertama? Kenapa gak di ceraikan saja? Dari pada menahan luka?"
"Jaga bicaramu!" Wanita itu berdiri menatap anaknya dari hasil perkawinan dengan pria yang membuatnya menangis seperti ini. Brengsek, mungkin seperti itu kenyataannya.
"Mamah masih membela bajingan itu? Kalau dia sayang sama Anda pasti dari awal dia bicara soal istrinya yang pertama! Bukan malah mengecewakan sekarang. Menyesal dia sudah menikahi Anda?"
Ara memejamkan matanya. Menunggu langkah selanjutnya yang terjadi. Tapi ia tidak merasakan apa-apa di pipinya.
"Maaf." Lirihnya.
Sedangkan wanita yang di panggil dengan sebutan Mamah itu memundurkan langkahnya. Ia menyentakkan punggungnya ke dinding.
"Kenapa sih Mah masih mempertahankan hal yang tidak ingin di pertahankan? Dari dulu emang benar kan yang saya kata, cinta itu gak ada. Bulshit."
"Gak usah sok tau tentang cinta, kalau sendirinya aja belum pernah merasakan cinta."
Arno tiba-tiba saja datang entah dari mana. Wajahnya babak belur, ancur. Ia membuka jaket kulit hitamnya. Berantakan, baju seragam putih abu-abu itu lusuh, ada bercak darah sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Teen FictionTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...