Bandar Lampung, Maret, 2016.
Selepas dari kedai kopi Ara langsung mampir kembali ke taman komplek perumahannya. Mencari sesuatu yang pernah dia tinggalkan disini. Ya. Ara mendapatinya. Bunga matahari yang tadi pagi sempat diberikan Rasya untuknya. Dia mencabut bunga tersebut yang sempat ditanamnya lalu dibawanya pulang ke rumah. Sudah sedikit layu, karena percuma walaupun Ara tenggelamkan batang bunga tersebut dalam tanah, tidak akan bisa lagi untuk tumbuh. Begitupun dengan kepercayaan yang sudah dikecewakan. Ataupun dengan rasa yang sudah pernah dipatahkan. Tidak akan sama lagi dan tidak akan pernah bisa untuk kembali semula.
Ara menatap bunga tersebut dalam vas kecil yang diletakkan di meja belajarnya. Kejadian tadi pagi pun terulang dan berputar di otaknya. Betapa Rasya yang begitu menunjukan sikap untuk mendekatinya secara terang-terangan dan meminta Ara untuk menerima ucapan kata hatinya. Berulang kali otak Ara menolak dan banyak persepsi lainnya. Namun berulang kali juga hatinya mengatakan "coba lagi." Tapi tidak semudah itu.
Kejadian dua tahun silam berputar lagi. Perihal rasa yang minta balasannya. Perihal hati yang tak mampu menerima dan otak yang tidak bisa bekerja semestinya.
Saat itu, langit kehilangan ruangnya. Kata percaya sudah lenyap dalam kamus bahasa. Tidak ada yang tersisa diruang hatinya. Yang ada hanyalah sebuah asumsi yang mengubah ketakutan dalam dirinya. Saat itu, perlahan tentangnya berubah menjadi ilusi. Kabut dihatinya menutupi semestanya. Tak ada lagi cahaya dalam ruangnya. Gelap. Hilang. Entah dipaksa atau hilang begitu saja.
***
Umur lima belas tahun, tepat dua tahun yang lalu. Seorang remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu bersama sahabatnya mengambil jatah bolosnya. Gadis itu menutupi bajunya dengan jaket jeans yang senada dengan roknya. Dia dan sahabatnya memasuki kawasan sekolah menengah atas favorit di kotanya. Hari ini, baginya adalah hari terpenting. Entah soal apa. Bagi gadis itu semua yang mencangkup pusat semestanya adalah hal terpenting.
"Ra, mau ngapain sih?" Winda membuka mulut. Dia agak risih dengan tatapan senior yang heran akan kedatangan mereka.
"Udah duduk aja disini. Ikutin gue dan diam. Mencoba merekam hal terpenting hari ini."
Mereka duduk di kursi paling belakang, menanti penampilan yang akan naik ke atas panggung berikutnya. Setelah itu hal ditunggu pun muncul ditengah-tengah lampu sorot. Tatapannya sangat familiar, lelaki itu mempunyai lesung pipi yang membuat kadar gula Ara meningkat.
"Jadi karena Rasya lo bela-belain untuk cabut. Yaelah. Gue balik lagi ya ke sekolah." Winda menunjukkan tampang kesal. Bukannya dia tidak mendukung. Hanya saja dia tidak ingin melihat hal yang menyakitkan di depan matanya nanti.
"Please. Kali ini aja. Temenin ya. Gue mau lihat dia tampil saat memainkan alat musik itu."
"Bukannya setiap ke rumah lo dia selalu main biola?"
"Ya tapi kan beda, lagian juga dia ke rumah karena Arno."
"Kenapa karena Arno?"
"Kakak gue sama dia kan sohib. Jadi dari mereka SMP, dia sering main di rumah kami, dan selalu memainkan alat musik itu."
"Terus apa bedanya sekarang."
"Beda."
Winda mengangkat satu alisnya.
"Dia yang minta gue untuk dateng kali ini, supaya untuk menonton dia main alat musik gesek itu."
"Ya terus?"
Sontak Ara menjitak Winda. Ia kesal akan radar kecerdasan yang sahabatnya miliki.
"Intinya, ini hal yang langka dan gue yakin ada hal yang ingin disampaikannya. Kalau kayak di film-film dia akan menyampaikan perasaannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Ilusi
Teen FictionTentang langit kehilangan ruangnya dan tentang rasa yang dipaksa untuk kadaluarsa. ***** "Jika tanpa kehadiranku membuatmu gila seperti ini, dipastikan aku tidak akan pernah lari apalagi untuk pergi. Tapi jika aku datang kembali dan membuatmu bertam...