2

160K 10.6K 406
                                    

"Kalian ini bagaimana bisa tidak mengerjakan PR saya?" Bu Evi menggebrak meja guru didepan anak-anak GRV yang tidak mengerjakan PR mereka. "Apa waktu seminggu tidak cukup untuk mengerjakan 25 soal?"

"Bukannya nggak cukup, Bu." Vano menjawab, "Tapi lupa. Namanya juga orang lupa, Mana inget, Bu?"

"Kamu! Berani ngejawab?!" Mata Bu Evi sudah melotot, tanda bahwa ia benar-benar marah.

"Saya diem salah. Saya jawab jug--"

"Diam!" Bu Evi melemparkan penghapus papan tulis kearah Vano, dan berhasil mengenai bahu kirinya.

"Aduh!" erangnya pelan.

"Sekarang, keluar kalian! Pergi ke lapangan! biar Pak Buyung yang urus kalian! Saga nggak akan capek-capek buang tenaga untuk murid macam kalian!"

"Yaudah deh, yuk! Keluar cuy!" sahut Fadlan.

Sebelum keluar kelas, Vano kembali kemejanya. Kami sempat saling tatap tapi kemudian ia buang muka dan menatap lurus kedepan. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, ia kembali berjalan menuju pintu kelas.

"Kamu ini!" Bu Evi membentak Vano. "Cepat keluar!"

"Iya, ini saya juga mau keluar. Dadah Ibu cantik!"

Bu Evi menatap vano muak, "Cepat keluar!"

Atha menyikutku, "Kipas lo tuh, kei."

Entah bagaimana kipasku bisa ada di tangan Revano. Kemarin seingatku kipas itu dipinjam Fadlan dan aku juga lupa kalau ia belum mengembalikannya.

Saat istirahat, aku pergi ke kantin bersama Atha dan Dhira. Kami memesan mie ayam dan jus jeruk lalu duduk di tempat yang masih kosong.

"Dhir lo udah tau geng Vano mau tauran?" tanya Atha setelah menuang saus kedalam mangkuknya.

"Udah. Gue doain deh pada nggak selamet! biarin aja tuh gue sumpahin si Vano kenapa-kenapa!"

"Heh, jangan doain orang yang jelek-jelek ah." aku menegur Dhira.

"Nggak apa-apa," Dhira membela diri. "Gue sebel banget banget sama dia, Kei."

"Tapi tetep aja, lo nggak boleh doain yang jelek-jelek. Kalo nanti dikabulin Tuhan, gimana? Emang lo mau––"

"Hey, Dhira." seseorang memotong kalimatku.

Vano duduk disebelah dhira yang memang kosong.

Dhira memasang wajah juteknya. "Apa?!"

"Yaelah, masih aja marah." kata Vano sambil mengipasi kepalanya dengan kipas cinderella miliku. "Maaf deh, gue tadi bercanda. Lagian lo baperan, kaya baru kenal gue sehari aja."

"Sana pergi lo!" Dhira tidak terima penjelasan Vano. "Ngilangin selera makan gue tau nggak?"

"Jangan diusir dong, kodhir."

Dhira menatap Vano seperti macan sedang menatap mangsanya.

"Udah sana pergi lo!" bentak atha.

"Woi, Van! Sinilah kita ngomongin plan."

Tiba-tiba seseorang berteriak dari pojok kantin. Orang itu adalah Beki yang mana adalah anggota GRV juga, dia kelas 11 IPS 1. Nama aslinya adalah Vikri, dia dapat panggilan Beki itu dari teman-temannya.

"Plan? Siapa tuh?" tanya Vano. "Nggak pernah denger gue namanya. Anak baru?"

Seisi geng yang sedabg mojok itu tertawa, "Plan itu rencana, goblok!"

"Sekolah sampe gerbang doang sih, jadi goblok kan tuh." celetuk Fadlan.

"Oh ngomong dong." Vano berdiri dan menghampiri teman gengnya itu.

"Tuh, liat aja!" cibir Dhira, "Nggak tahu diri. Bawa-bawa kipas orang. Hih!"

Aku dan Atha hanya geleng-geleng mendengar omelan Dhira.

Tak lama, bel berbunyi. kami berjalan beriringan menuju kelas. tapi, ditengah perlajanan, aku izin ketoilet untuk pipis. setelah selesai, aku kembali lagi dan ternyata didepan toilet ada fadlan.

"Eh, kei!" sapanya.

"Fadlan? Kenapa?"

"izinin gue ya, Kei." ujarnya, "Perut gue sakit banget sumpah ya, kayak ada bom-bom nya gitu."

Aku tertawa renyah, "Apaansih? Receh ah Dlan."

"Kei, izinin ya. Gue tau cuma lo doang yang paling baik diantara temen-temen lo itu."

"Lo mau cabut?" tanyaku dengan suara yang kuperkecil.

Fadlan nyengir, "he he he he he."

"Ya kan? Mau cabut?"

"Namanya juga anak laki, Kei."

"Apa hubungannya?" aku memutar bola mata lalu mendorongnya, "Udah sana, minggir! Gue mau masuk kelas!"

"Kei!" teriak Fadlan dari belakang, "Plis, jangan bilang gue cabut ya!"

Aku hanya mengacungkan jempol sambil terus melangkah tanpa menoleh kebelakang.

"Kei, lama amat si." aku baru saja duduk disebelah atha.

"Tadi penuh toiletnya."

Bu rizki datang membawa beberapa tumpuk buku matematika.

"Vano dan gengnya bolos ya?" Dhira membalikan badanya menghadap aku dan atha.

"Ngga usah diaduin, Dhir." kataku. "Kalo ditanya, bilang aja nggak tahu."

Atha dan Dhira seketika mentapaku kaget."Apa-apaan? Nggak mungkin nggak gue aduin lah, lo nggk denger apa tadi Vano ngomong apa ke gue?"

"Iya gue tau." aku mengecilkan suara. "Tapi kali ini aja lo nggak usah ngomong apa-apa kalo ditanya tentang mereka. Bisa kan?"

Dhira menghela napas, kemudian kembali menghadap papan tulis. Ia tidak pernah bisa melawan argumenku. Entah mengapa. Ia bilang ia tidak tega padaku. Entahlah.

Atha menyikutku, "Ada yang ngancem lo ya, kei?"

Aku menggeleng, "Nggak ada, Tha."

"Jadi orang jangan terlalu baik, Kei." bisik Atha. "Nanti lo bisa dimanfaatin."[]

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang