pelajaran sosiologi tengah berlangsung saat pak buyung memasuki kelas dengan membawa secarik kertas.
"yang saya panggil, ikut keruang kepala sekolah!" ucapnya seraya melihat kertas itu, "muhammad fadlan, revano, dyaz--"
"pak, maaf, yang bapak panggil pada ngga masuk." sergah rico.
pak buyung menatap seisi kelas, kebagian pojok belakang, "nanti kalau pada masuk kasih tau saya, rico!"
"siap, pak."
"makasih bu yunita," ucap pak buyung pada bu yunita.
"kenapa pak emangnya?"
"biasa," pak buyung menggelengkan kepala. "pada berantem."
setelah itu pak buyung meninggalakan kelas. aku semakin cemas atas keadaan vano dan teman-temannya mengingat ia belum membalas pesan terakhirku, dibacapun tidak.
bel istirahat berdering, aku dan kedua temanku bergegas menuju mushollah. tadi ericca meminta semua anak saman kumpul saat istirahat, ada yang ingin disampaikan katanya.
"kei lo kenapa sih diem aja daritadi?" atha menyikut lenganku begitu juga dhira, mereka mengapitku yang jalan ditengah.
"emang gue kanapa?"
"beda aja gitu. lebih banyak diem hari ini."
benarkah? bahkan aku tidak menyadarinya.
"ah, itu, ngantuk gue." jawabku sekenanya.
"ada apa nih er?" tanya dhira saat kami memasuki mushollah.
"eh, sini deh!" jawab ericca tanpa memalingkan wajahnya dari laptop.
"ada apa?" kami duduk melingkari ericca.
ericca menalingkan wajah dari laptop lalu menatap kami satu-satu. "itu, kayanya kita ngga usah daftarin sekolah kita ke cup-nya sma kasih bunda deh,"
"loh kenapa?" tanya dhira sambil mengeryitkan dahi.
"lo kan tau dhir, sekolah kita lagi bermasalah sama sma kasih bunda gara-gara tauran geng vano itu." ericca menarik nafas, "ya ngga enak aja gitu kalo kita masih paksain ikut cupnya. lo pasti ngerti maksud gue."
"ngga." jawab dhira dengan tatapan tanpa dosa. ericca mendesah lelah.
"setuju gue," kataku, "gue ngerti kok er. emang kayanya untuk kali ini ngga ikut dulu deh,"
"tapi kan ini kesempatan buat kita buat harum nama sma wijaya."
"dhir, cup bukan cuma sekolah mereka doang yang adain,"tegas atha, "banyak jalan menuju roma. pasti nanti bakal banyak perlombaan lagi kok, bahkan yang lebih besar daripada cupnya kasih bunda."
"anjay, setuju gue sama atha!" seru ericca sambil menepuk bahu atha dua kali.
"yaudah," dhira menyerah, "lo tinggal bilangin anak-anak yang lain."
"sip. kalo itu biar gue yang atur,"
"yaudah. gue izin kantin ya er?" atha berdiri, "yuk dhir kei."
"lo ngga kantin er?"
ericca mengangkat tangan, "ngga, gue mau nunggu anak-anak yang lain dulu biar nanti sekalian gue kasih tau kita ngga jadi lomba."
"oh yaudah, duluan ya, er."
kami bertiga melangkah menuju kantin. dan kami menenpati tempat meja yang biasa geng vano tempati sejak tidak ada lagi meja kosong disini.
"marah ngga nih yang punya kalo kita tempatin?" tanya atha sambil menaruh mangkuk bakso ditangannya.
"sans," jawab dhira. "kan lagi pada ngga masuk." pada akhirnya kami duduk disitu.
"kei, lo beneran ngga mau makan?"
aku menggeleng sambil memainkan botol air mineralku. entah kenapa aku sedang tidak nafsu makan. bayangan vano masih mengganggu pikiranku. dimana dia? sedang apa? dan, dengan siapa?
++
keesokan harinya, aku bangun kesiangan. semalam aku baru bisa tidur pukul dua. perasaanku masih saja terbayang oleh vano. maksudku, bukan apa-apa. aku hanya takut kalau ia kenapa-kenapa. kemarin saja lawannya membawa golok. sungguh, kemana dia?
"kok abang ngga bangunin kei?" kataku sambil mengambil susu dari kulkas.
"abang juga baru bangun. kesiangan. semalem main fifa sampe pagi,"
aku menoleh dan menatap bang arya. dan benar saja, ia masih memakai piyama yang ia pakai kemarin.
"kok ngga siap-siap? emang abang ngga kekantor?" kuambil roti isi dan mengigitnya.
"kekantor kok. ini makanya abang mau bilang kalo hari ini kei berangkatnya naik ojek dulu, soalnya ngga bakal keburu kalo abang harus nganter ke sekolah kei dulu, bisa telat."
"yah," aku mendesah, "yaudah kei berangkat sekarang deh." aku menyambar tasku lalu mencium pipi bang arya singkat setelah itu pamit dan berjalan kepangkalan ojek depan komplekku.
setengah jam kemudian, aku baru sampai didepan sekolah. sudah pukul tujuh lewat lima belas. aku memasuki pagar sekolah dengan kaki gemetar. dari jauh kulihat pak buyung melambaikan tangannya kearahku, mengisyaratkanku agar menghampirinya.
"haduh, kamu kenapa telat?"
"kesiangan. alaram saya mati, pak."
"walaupun kamu ngga pernah telat. tapi tetap akan saya hukum." katanya, "bending lima belas kali!" perintahnya.
aku menuruti perintahnya lalu bergabung dengan yang lainnya untuk menjalankan hukuman. setelah selesai, pak buyung menyuruhku agar mengisi daftar siswa telat dimeja piket. lalu setelah itu aku berniat untuk menuju kelas.
kemudian kulihat fadlan baru saja keluar dari ruang kepala sekolah, ah, dia sudah masuk, pasti vano juga sudah masuk sekolah hari ini.
"fadlan!" panggilku.
ia menoleh dan tersenyum, lalu aku menghampirinya dan berdiri didepannya. kulihat ada plaster diatas alisnya yang kuyakini adalah imbas dari tauran kemarin.
"hey!" sapaku.
"eh, keiya? kenapa kei?"
"lo ngapain diruang kepala sekolah?" meskipun aku 100% sudah tau jawabannya, tetap kutanya guna mengalihkan pertanyaan yang sesungguhnya ingin kutanyakan karena tidak ingin ia mengira yang tidak-tidak.
fadlan menggedikkan bahu, "biasa," jawabnya sambil terkekeh.
"oh. eh iya, vano mana?"
mimik muka fadlan tiba-tiba berubah, matanya yang tadinya bersinar mendadak layu. aku yakin, ada yang tidak beres.
"kei, duduk dulu." ia menyuruhku duduk dibangku panjang yang ada didepan lab ipa.
"ada apa?" tanyaku saat fadlan sudah duduk sempurna disampingku.
"kei," ia menoleh dan menatap mataku lekat-lekat. "vano.."
aku mengerutkan dahi. "iya, dia kenapa, dlan?"
dengan berat, fadlan menarik napas. "dipenjara."[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...