"Ya enggak lah Bang. Kei nggak bakal ngapa-ngapain sama temen Kei itu." aku berbisik ditelfon supaya Vano tidak dengar obrolanku dengan Bang Arya.
"Bener? Siapa tadi tuh namanya?"
"Iya! Namanya Vano, Abang. Revano."
"Temen sekelas Kei?" tanya Bang Arya.
"Iya,"
"Emang kenapa dia? Nyasar?"
"Abis digebukin.." jawabku gemetar. "Digebukin limabelas orang."
"Astagfirullah!" Bang Arya berteriak diujung telepon, "Yaudah. kalo gitu suruh nginep aja tuh si Vanonya. suruh tidur dikamar abang aja!"
"Bang.." aku menghela nafas panjang, "Daritadi kan Keiya nelfon juga mau minta izin boleh nggak vano nginep hari ini?"
Kudengar Bang Arya tertawa pelan. "Yaudah. Boleh kok, Abang juga lembur hari ini. Biar sekalian vano jagain kamu."
"makasih bang!"
"iya iya." katanya. "Tapi awas loh kalo macem-macem."
"Iya." desisku. "Boleh minta sesuatu lagi ngga?"
"Apa?"
"Beliin MCD dong Bang. Yang didepan kantor Abang itu. Dua yaa nanti kirim ke rumah!"
"Boleh, nanti Abang beliin."
"Makasih Abang. Kei tutup ya?"
"Iya. Hati-hati, awas macem-macem!"
Setelah menutup telepon dengan Bang Arya. Aku memerapihkan buku-buku yang akan kubawa besok, sekalian melihat apakah ada PR atau tidak. Dan, ternyata tidak. Kemudian aku menghampiri Vano dikamar sebelah.
"Vano?" aku mengetuk pintu sekali, "Gue masuk ya?"
"Iya."
Aku membuka pintu itu dan mendapati vano sedang duduk bersandar diatas kasur, dengan tangannya menekan wajahnya pakai kapas yang sudah diberi obat merah.
"Masih sakit?" aku memposisikan diri untuk duduk dihadapannya.
"Lumayan,"
"Hari ini lo tidur disini aja ya," kataku. "Besok baru pulang."
"Serius, kei?" ia menegakkan tubuhnya, "Nggakpapa kalo gue nginep sini?"
Aku mengangguk. "Tadi gue udah izin abang gue, dia juga lembur hari ini jadi lo bisa tidur disini."
"Kei," ia menatap mataku lekat-lekat, "Makasih banyak ya. Ngga tau lagi gue kalo nggak ada lo."
"Sama-sama."
Kemudian hening, lalu Vano kembali bicara. "Gue nggak ngeliat orangtua lo, Kei? pada kemana?"
Pertanyaan yang biasa namun masih tetap menusuk hatiku. Aku harus memilah apa saja yang harus diucapkan karena kalau salah bicara sedikit saja, tangisku akan pecah.
"Udah nggak ada, Van." bisikku.
"Eh? Maaf." Vano menatap mataku lagi, sesekali ia menarik rambut yang hampir menyentuh alisnya itu kebelakang, canggung. "Orangtua Vano juga udah nggak ada, Kei."
"Oh ya?" jujur aku baru tahu akan hal itu. Dan, sepertinya memang tidak ada yang tahu. Entahlah.
Ia menggangguk. "Orangtua Keiya kenapa meninggalnya? Kalo boleh tau."
"Kecelakaan pesawat."
Matanya terbelalak, "Serius? K––kapan?"
"Lima tahun yang lalu."
Vano berbisik sesuatu tapi masih dapat kudengar. Ia membisikkan nama maskapai pesawat yang orangtuaku tumpangi, yang pagi itu meledak setelah lima belas menit lepas landas.
"Iya bener,"
"Orangtua gue juga ada dipesawat itu."
"Hah?" reflek, kututup mulut dengan telapak tangan. Serius! Aku terkejut mendengarnya. Selama ini, tidak ada satupun orang di sekolah yang menyatakan bahwa orangtua Vano juga ada dalam kecelakaan naas itu.
"Iya. emang ngga ada yang tahu kecuali Keiya." seakan bisa membaca pikiranku, Vano berkata seperti itu.
Aku hanya mengangguk, tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Gue nggak punya siapa-siapa lagi, Kei. Dirumah cuma tinggal sama Mbok. Kakak gue yang perempuan udah nikah dan sekarang ikut suaminya."
Aku diam, mendengarkan. Selanjutnya hening. Vano berhenti bicara dan aku juga tidak punya kata-kata yang pas untuk diucapkan saat ini.
Bunyi bel rumahku akhirnya menghancurkan keheningan yang menyelimuti kami. Aku segera keluar untuk cari tahu siapa yang bertamu malam-malam begini. Ternyata pesanan MCDku––aku hampir lupa tadi memesan ini pada Bang Arya–– lalu setelah menirima bungkusan dari Mas penghantar MCD, dan menerimakasihinya, dan kembali kedalam rumah.
"Van, ayo ma--"
"Jangan dibuka pintunya!" sahut Vano, mengurungkan niatku yang awalnya ingin membuka pintu. "Gue lagi pake baju!"
Aku diam berdiri di depan pintu, menunggu Vano keluar.
"Gerah banget ya, tadi pas lo keluar gue lepas baju.." Vano keluar kamar masih sedang pakaian yang tadi, bedanya kali ini rambutnya sedikit basah.
"Makan dulu yuk."
Ia mengikuti sampai ke meja makan. Setelah ia duduk di kursi, aku memberinya sekotak MCD yang isinya ayam dan nasi.
"Makan ya!"
"Makasih banyak yaa, Kei."
Sepuluh menit kemudian, makanan kami sudah habis. Aku dan Vano kembali dalam keheningan.
"Besok lo mau sekolah nggak?" tanyaku.
"Nggak ah," Vano mendekatkan kepalanya padaku. "Kei, cabut aja yuk?"[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...