Pagi ini, seperti biasa, aku siap-siap berangkat sekolah. Setelah selesai berpakaian dan memoles wajahku dengan bedak dan lipice secukupnya, aku turun kelantai bawah menuju meja makan.
Disana sudah ada Bang Arya, keluarga satu-satunya yang kupunya. Orangtua kami sudah meninggal lima tahun yang lalu, kecelakaan pesawat. Menyedihkan memang kalau diingat-ingat. Tapi, setidaknya aku bersyukur karena Tuhan masih memberiku bang arya untuk menemani kehidupanku kedepannya.
"Hari ini Kei sarapan di sekolah aja, ya?"
Aku memutar bola mata, "Apa lagi hari ini?"
"Abang ada meeting."
Aku mengangguk lemah.
"Abang buatin roti aja ya, biar makannya disekolah. Nanti abang masukin ke tupperware."
Aku mengangguk lagi, lalu Bang Arya memasukkan beberapa buah roti isi mesis kedalam tupperware ungu miliku, kemudian ia menyerahkannya padaku.
"Berangkat sekarang, ya?"
"Yap."
"Hari ini kei latihan saman nggak?" tanya Bang Arya seraya mengecilkan volume radio dimobilnya yang baru saja keluar dari komplek, bergabung bersama kendaraan lainnya di jalan raya yang belum begitu padat mengingat ini baru pukul setengah enam pagi.
"Hari selasa kan sekarang?" ucapku lebih kepada diri sendiri. "Latihan."
"Pulangnya mau dijemput?"
aku menggeleng, "Nggak. Kei pulang sendiri aja."
"Oke kalau begitu!"
Limabelas menit kemudian, kami sampai di depan gerbang sekolahku.
"Kei masuk ya!"
Bang Arya menepuk-nepuk pipi kirinya dengan telunjuknya sendiri.
"Oh iya lupa!" aku mendekatkan diri dan mencium pipi Bang Arya, setelah itu salim dan meminta sedikit uang jajan.
"Dadah!" kataku sambil melambaikan tangan dari luar mobil.
"Hati-hati, ya! Nanti kalo mau nitip makan, telpon aja. Oke?"
"Sip, bos."
Setelah itu, Mobil Bang arya melaju lagi, ikut serta dalam jalanan yang mulai macet.
"Keiya!"
Aku menoleh, Atha teman sebangkuku baru saja turun dari ojek langganannya.
"Atha!" sapaku.
Atha tersenyum, lalu kami berjalan beriringan memasuki sekolah yang masih terbilang sepi.
"Lo baru dateng, kei?"
"Nggak, daritadi." candaku. "Yaiyalah cantik, gue baru dateng."
Atha nyengir. "Eh, kei? lo udah denger berita kalo geng rusuh Vano mau tawuran hari ini belum?"
Geng rusuh Vano. Geng yang berisi anak-anak rusuh diangkatanku. Anggotanya beragam, dari berbagai kelas. Tapi, yang paling banyak ya dari kelas IPS. Dari berita yang beredar ketuka pasukan itu adalah Revano, yang mana adalah teman sekelasku. Kerjaannya kalau nggak bolos, ya tawuran.
Aku menoleh, "Tawuran?" aku menggeleng, "Nggak denger gue. Lo kata siapa?"
"Digrup kan pada ngomongin, emang lo nggak liat ya?"
"Grup apaan?"
"Grup angkatan kita di line."
"Oh, gue nggak liat Tha." desisku. "Notifnya gue matiin sih, jadi nggak tau kalo ada pesan masuk."
"Jadi gini Kei, GRV itu mau tawuran sama sekolah mana gitu gue juga lupa, katanya lagi sih, GRV-nya yang mau nyerang duluan."
"Lo kata siapa?" tanyaku penasaran.
"Kata anggota GRVnya langsung. Mereka bilang di grup."
"Serius? Masa mau nyerang bilang-bilang sih?" aku mendelik. "Nggak surprise dong."
"Apaansih?" atha terkekeh sambil mendorong lenganku, "Lo kira mau ultah pake surprise segala."
"Ya nggak, maksud gue aneh aja. Masa mau nyerang, bilang-bilang digrup?"
"Kan grupnya angkatan kita doang, Kei."
"Ya, tetep aja."
Kami sudah sampai dikelas. Kelas 11 IPS 3. Ternyata, di kelas sudah ramai, aku baru ingat kalau hari ini ada pr senibudaya dengan guru ter-killer disekolahku.
"Tha, Kei!" sapa Dhira disela-sela menyalin PR milik Amelia kebuku prnya sendiri.
"Yaampun, lupa gue kalo ada PR senbud!" ucap atha kaget, "Lo udah, Kei?"
"Udah kok. baru bagian PG doang sih, tapi kan yang penting udah."
"Yaudah, gue mau nyalin punya Amel dulu yaa bareng dhira.."
Au mengangguk dan menaruh tasku dimeja, lalu mengeluarkan handphoneku dan mulai membaca wattpad.
"Kaya anak TK lu semua! ada PR ngerjain, kaya anak TK!" teriakkan itu berasal dari depan kelas. Fadlan ternyata, anggota 'Geng Rusuh Vano'.
"Tau nih, ah payah! Evi doang masa nge-down sih? Kayak kita dong. Nggak nge-down samasekali mau guru segalak apapun juga." celetuk Dava--anggota GRV yang mana disambut meriah oleh anggota yang lain.
Lalu mereka berjalan menuju tempat duduk kramat mereka, dipojok. satu barisan itu hanya dipenuhi oleh mereka.
"Gila, nggak ada solid-solidnya nih kelas!" celetuk fadlan lagi. "Ngga usah ngerjain dong weh! solid cuy!"
"Bacot banget lo pada!" Dhira berdiri sambil berkecak pinggang. "Kalo lo nggak mau ngerjain ya udah, nggak usah ngehasut temen lo yang lain buat nggak ngerjain!" teriaknya.
"Temen?" vano bersuara, "Sejak kapan kita temenan? Plis deh, nggak usah bertingkah seolah-olah lo tuh temen gue yang lagi gue jerumusin ke hal yang buruk, karena lo bukan."
Dhira terdiam. Kami semua terdiam. Perkataan vano tadi jelas menyakitkan hati dhira secara tidak langsung. Mungkin, kalaupun aku sedang berada diluar, aku tetap akan mendengar suaranya yang keras itu.
Atha yang berada disebalahnya, menyuruh dhira duduk. Aku menghampiri meja dhira.
"Udah, dhir. Nggak usah didengerin, dia kan kalo ngomong suka ngasal gitu." kata Atha menenangkan.
"Iya, Dhir. Udah nggak usah dimasukin kehati." kataku mencoba menenangkan Dhira.
"Awas aja," ucapnya dengan wajah memerah, "Nggak akan gue tolongin kalo lagi butuh."[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Genç KurguKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...