pagi harinya aku terbangun dengan rasa sakit dikepala akibat menangis semalaman.aku berdiri didepan cermin. lihatlah, aku sangat berantakan; wajah sembab, rambut seperti kena badai, baju lusuh, dan perut lapar.
aku belum makan.
hari ini vano akan terbang ke sydney. dari apa yang kutahu dari atha, jadwal penerbangan pada jam 11.
teman-teman sekelasku serta teman-teman dekat vano hari ini izin setelah istirahat karena akan menghantar vano kebandara.
sejak semalam, vano mengirimkan pesan untukku. tidak ada yang kubalas.
atha menanyakan kabarku dan apakah aku akan ikut menghantar vano kebandara atau tidak, kujawab tidak, kujawab aku masih sakit.
ya, hatiku sakit.
aku melangkahkan kakiku dan duduk dimeja makan, lalu kuteguk segelas susu yang kuyakin disiapkan bang arya pagi tadi.
ia tidak tahu yang sebenarnya terjadi. yang ia tahu, aku sakit, yang ia tahu aku demam, yang ia tahu aku harus istirahat hingga sembuh.
mataku melirik jam yang tertempel disebelah kotak p3k. jam sepuluh, artinya sisa satu jam lagi sebelum keberangkatan vano ke sydney.
kurasakan ponsel disebelah gelasku bergetar.
atha syahirani: beneran ga mau ketemu vano?
atha syahirani: buat yang terakhir kali?
atha syahirani: gue tau sebenernya lo mau tp gengsi
atha syahirani: gue cuma mau ngingetin,
atha syahirani: NOW OR NEVER, KEIYA!dengan itu, bermodalkan sweatpants dan kaos oblong, aku berangkat menuju bandara dengan mang ical, ojek langgananku. now or never.
++
sesampainya di soetta, aku langsung turun dari motor dan membirkan helm mang ical pada empunya, "mang, bayarnya nanti aja ya, saya ngutang dulu. nanti dibayar dirumah, saya ngga bawa duit nih!"
"sip neng! sans aja sama mamang mah,"
aku tak begitu menghiraukan mang ical, aku segera berlari kedalam bandara. kulirik jam di ponsel. sepuluh lewat tigapuluh lima menit. yang kuharap sekarang hanya; waktu melambat agar aku bisa bertemu dengannya.
setelah berkeliling, aku menemui segerombolan siswa berseragam sma tengah mengerumuni seorang dengan kaos putih. itu dia, mataku berkaca-kaca melihat satu-satu teman-temanku memeluk vano sebagai tanda perpisahan. lihatlah, ruang tunggu begitu ramai dipenuhi orang-orang yang menghantar vano.
"keiya?" atha yang baru saja melepaskan pelukannya dari vano adalah orang yang pertama sadar akan kehadiranku.
orang-orang langsung menoleh, menatapku, termasuk vano.
aku tersenyum dan melangkah menuju kerumunan itu.
atha memelukku, lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
aku berdiri dihadapan vano sekarang.
"h-hey!" sapaku.
ia menatapku, masih dengan tatapan yang sama seperti dua minggu terakhir bedanya, kali ini sedikit layu. "keiya?"
"ayo gue anter," kataku sambil tersenyum getir. aku ingin menghantarnya sampai security check.
ia mengangguk dan mengucapkan selamat tinggal lagi pada teman-temannya setelah itu ia berjalan disebelah kananku.
kami berjalan dalam diam. kami belum berbicara. aku terus menatap lantai, menghindari wajahnya.
"kei?"
aku mengangkat wajah, menoleh lalu dengan sekuat tenaga tersenyum kearahnya.
"kemarin kenapa ngga masuk?"
aku membuak muka, menatap lurus kedepan.
"gue sakit."
"ketara sih," ia terkekeh, "liat aja tuh dandanan elo."
aku tertawa renyah, menahan air mata yang memaksa keluar.
"kei," ia berhenti melangkah dan berdiri dihadapanku. kami sudah sampai di security check. terlihat seorang laki-laki berseragam tengah mengecek seorang laki-laki berkaus hijau.
"vano.." panggilku lirih.
"kei, waktu aku udah ngga banyak. aku cuma mau bilang, jangan nangis lagi. aku bakal pulang n--"
"kapan? kapan lo pulangnya vano?" aku merengek seperti anak bayi minta dibelikan permen.
"kalo aku udah lulus. kei, aku mau berubah. aku ngga mau jadi anak nakal lagi kaya dulu, aku ngga mau berantem lagi sampe nyebabin anak orang koma." vano menggenggam tanganku, "kei, aku sayang sama kamu."
aku menatapnya dengan mata terbelalak.
"tapi, aku ngga mau nyatain itu sekarang. aku ngga mau kita jadian sekarang, karena pasti kita bakal ldr. aku ngga mau karena pasti kamu bakal kangen aku setiap hari."
aku terkekeh lalu menampar pipinya pelan. "pede banget sih!"
"kei, aku serius!" ia mengelus pipiku. "nanti, kalo aku pulang ke indonesia, aku bakal nyatain ini lagi ke kamu. tapi, kamu harus nunggu, oke?"
aku mengangguk lemah.
dengan satu gerakan, aku sudah ada didekapannya. aku menenggelamkan wajahku pada dadanya. ia meletakkan dagunya diatas kepalaku.
"keiya shakira, aku seneng banget bisa deket sama kamu akhir-akhir ini." katanya, "aku mau makasih sama anak-anak yang nyerang aku waktu itu. karena mereka, aku bisa dipertemuin sama kamu."
aku mengangkat wajahku dan melepaskan pelukannya, kaos yang dipakai vano basah dibagian dadanya karena air mataku.
"aku juga seneng." kataku masih terisak, "setidaknya tuhan ngizinin kita buat deket walaupun sebentar."
vano tersenyum, lalu dengan sigap ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. sebuah cd.
"buat kamu, kei." ia menyorodkan cd itu dan langsung kuterima. "ditonton ya?"
aku mengangguk.
vano mendekatkan wajahnya padaku lalu meletakkan telapak tangannya pada bibirku kemudian mengecup telapak tangannnya sendiri sehingga hidung kami bertabrakan.
setelah itu ia tersenyum lagi padaku. "nanti aku kabarin ya kalo udah sampe!"
bukannya menjawab, aku malah menarik vano dalam pelukkan. kuletakkan kepalaku diatas pundaknya. ia balas memelukku dan mengusap pelan punggungku.
aku memejamkan mata, ia makin mengeratkan pelukan.
setelah mendengar informasi bahwa penerbangan vano akan berangkat sepuluh menit lagi. aku melepaskan pelukan.
vano menatapku lalu menarik wajahku, kemudian kedua ibu jarinya dengan lembut menghapus air mataku.
"no more tears, okay??"
aku mengangguk. ia mengapit dan menarik leherku lalu mencium kepalaku singkat.
"aku ngga mau ngucapin selamat tinggal ke kamu karena aku yakin kita bakal ketemu lagi, so," ia menarik nafas, "see you soon, sweetheart."
vano lalu melangkah dan melewati security check, setelah itu ia menoleh padaku lagi dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah lalu meletakkan kedua jari tersebut dikedua ujung bibirnya; ia menyuruhku tersenyum. dan, aku tersenyum.
sepersekian detik kemudian, punggungnya sudah tak terlihat lagi dipandanganku.
"see you soon, revano."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...