sepulang sekolah, karena tidak ada kegiatan lain seperti ekskul, aku berniat untuk mengunjungi vano dirumahnya, juga untuk bertemu lagi dengan kak renata. dengan memesan gojek, aku meluncur kerumahnya.
setelah menekan bel dua kali, mbok membukakan pagar rumah vano.
"eh, non keiya? ayo masuk non!" ajak mbok, "mas revan ada tuh didalem, lagi main ps!"
"makasih, mbok."
aku dan mbok masuk kedalam rumah, mbok menghantarku keruang keluarga yang mana hanya ada karpet besar serta tv didepannya. disana juga sudah ada vano yang sedang fokus pada permainannya ditv.
"mas, ada non keiya." pekik mbok.
"udah tau," desis vano tanpa menoleh. "udah kerasa aura-auranya dari sini."
reflek aku melemparnya bantal yang ada disana, "aura apaan? lu kira gue setan pake ada aura-auranya segala?"
vano mem-pause gamenya dan menatapku sambil mengeryitkan dahi. "aura bagusnya kepancar dari jauh. jangan negative dulu dong."
aku hanya memutar bola mata lalu duduk disebelahnya lalu menyandar ketembok.
"bawa apaan nih?" tanyanya sambil melirik plastik indomaret disebelahku.
"makanan," jawabku sambil memberikan kantung itu pada vano. "buat lo,"
"asik!" pekiknya seraya membuka plastik itu dengan tergesa-gesa. "cemilan time!"
ia mengeluarkan satu-satu makanan dari plastik itu, tiga batang coklat, dua botol cimory rasa strawberry, chitato rasa sapi panggang, chitato rasa mie goreng, dua bungkus lays rasa rumput laut, dan satu plastik lagi berisi buah apel.
"semuanya buat gue?" tanya vano dengan mata berbinar.
aku mengangguk.
"kalo gitu, sering-sering aja gue digebukin orang. biar dibawain makanan terus!"
"jangan lah!"
"ha?" ia menatapku sambil tersenyum. "segitu takutnya gue kenapa-kenapa."
"bukan gitu ih!"
"yaudah ih," ia terkekeh, "nih." vano memberiku sebatang coklat silverqueen.
aku menggeleng.
"takut gendut?"
"ngga,"
"terus kenapa ngga mau?"
"ngga mau aja."
"oke, buat gue semua aja."
"emang buat lo," aku memutar bola mata. "kak renata mana?"
"hah?" ia menatapku kaget. "lo kenal kakak gue?"
aku mengangguk mantap. "tadi dia kesekolah dan ngajak gue ngobrol." jelasku, "terus kita ngobrol deh."
"lo ngobrol apa aja sama dia?" tanyanya dengan raut wajah ragu.
"banyak!" pekikku sambil tersenyum. "termasuk yang katanya lo sering ngomogin gue?"
vano membulatkan mata lalu sedetik kemudian menatapku datar. "bohong itu dia."
"oh y--"
"hey!" aku menoleh, kak renata datang dan duduk disebelahku yang duduk disebelah vano. "lagi ngomongin apa sih?"
"ngomongin yang ngga penting." desis vano sambil memulai game nya lagi.
"ih, kok banyak makanan?" pekik kak renata setelah melihat snack bertebaran diatas karpet, kemudian ia menatapku. "dari kamu?"
"iya kak hehe."
"wah, udah cantik, baik pula!" pekiknya.
aku tergelak, kak renata tertawa, vano tetap diam menatap layar kaca di depannya.
"revan, kok diem aja sih? ini diajak ngomong dong keiyanya! sudah datang jauh-jauh!" kak renata mencolek bahu vano.
"udah sering." jawab vano tanpa menolehkan wajah dari tv.
"gimana kamu ini?" ucap kak renata. "giliran cerita tentang keiya sama kakak aja, kau semangat sekali. giliran sudah ada orangnya disini, malah kau diamkan!"
vano memelototi kak renata.
"kata vano dia ngga pernah cerita tentang aku ke kak renata. kata vano kak renata bohong.." ujarku sambil menahan tawa.
"masa?!" mata kak renata membulat, ia berdiri dan berdecak pinggang. "kamu yang bohong revan! kamu kan cerita sama kakak kalau keiya ini anaknya cantik dan baik, suka menolong lagi,"
aku tertawa lebar, sementara vano menatap kakaknya kesal.
"sudah ah, kakak mau menyiapkan makan siang dulu sama mbok."
kak renata pergi dan sempat mengedipkan sebelah matanya padaku yang masih tertawa karena wajah vano yang memerah berkat godaan kak renata tadi.
"biasa aja kali muka lo!" kataku sambil menapar pelan pipi kanan vano.
"argh!" desahnya.
"eh?!" aku memajukan kepalaku hingga melihat wajahnya dengan jelas. "masih sakit ya?"
ia menggeleng, "biasa aja kali. segitu takutnya gue kenapa-kenapa sih."
"ngga." ketusku.
setelah itu kami berdua menuju meja makan, kak renata baru saja berteriak menyuruh kami berdua ke meja makan.
"ayo makan, kei!" kak renata memberi piring padaku. "jangan malu-malu!"
"gapapa malu-malu asal jangan malu-maluin."
"kamu ini!" kak renata menampar pelan lengan vano. "malu-maluin tapi suka kan?"
vano memutar bola mata dan menatap sinis kak renata. aku hanya tergelak sambil meneguk air putih digelas.
"ayo makan yang banyak!" kata kak renata sambil menyendokkanku nasi.
"jangan banyak-banyak, kak. kan udah makan tadi, hehe."
"gapapa dong, supaya sehat!"
kami makan dengan obrolan ringan seperti aku menceritakan tentang kekonyolan bang arya dan kak renata yang menceritakan tentang suaminya yang juga memiliki kekonyolan seperti bang arya.
"nanti pulangnya bareng aku aja ya, kan revan belum bisa berkendara." ujar kak renata menutup makan kami kali ini.
"iya kak."
aku pamit pada vano dan mbok untuk pulang kerumah dengan kak renata.
"besok kesini lagi?" bisik vano.
aku mengedikkan bahu.
"kalo ngga gue aja yang kesekolah." katanya masih berbisik. entah mengapa ia harus bicara seperti itu padaku?
"ngapain?" aku menjawabnya tidak berbisik.
"ketemu lo."
"jangan deh nanti lo dikeroyok lagi."
"ngga akan." aku tidak mengerti mengapa ia masih saja berbisik denganku.
"terserah," kataku. "gue pulang dulu."
"hati-hati."
"kan sama kak renata pulangnya."
"iya hati-hati, dia berubah jadi beruang kalo malem!"
kak renata datang dari belakangnya dan langsung menepuk bahu vano. "enak aja! ada juga kamu tuh yang berubah jadi harimau!"
sebelum aku beranjak untuk menyusul kak renata kedalam mobil, vano menahan lenganku.
"apa yang dibilang kak renata, bener. gue sering cerita ke dia tentang lo. tapi, ngga usah lo pikirin. gue bakal ngomong sendiri ke lo kok suatu saat nanti, tunggu aja."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...