"gue s--"
ceklek.
ucapan vano terinterupsi oleh pintu uks yang terbuka, kami sama-sama menoleh untuk melihat siapa yang memasuki ruang uks.
"k-kak keiya?"
seorang cowok berseragam sma berdiri diambang pintu. laki-laki itu tinggi tapi aku bisa menebak dia adalah murid kelas sepuluh karena tadi ia memanggilku dengan sebutan 'kak'.
"iya? kenapa?"
cowok itu menghampiriku sambil menunduk.
"m-maaf kak," katanya, "tadi saya yang nabrak kakak, tapi sumpah saya ngga sengaja kak! saya juga didorong temen saya, sumpah kak!"
vano langsung berdiri dan menatap cowok itu penuh emosi. "jadi elo yang nabrak dia?"
"i-iya," jawab cowok itu dengan ragu. kutahu pasti dia takut makanya ia menunduk. "tapi saya ngga sengaja, maaf kak."
"maaf maaf! lu kira ngga sakit apa jatoh kena aspal?" bentak vano, "liat nih!" ia menujuk luka dilututku yang sudah diplaster olehnya.
"y-ya, saya minta maaf."
"lo tuh ya!" vano meraih kerah baju si cowok itu, "maaf maaf aja! lo pikir dengan maaf lukanya bisa ilang gitu?! bisa ngga perih lagi gitu?"
"vano udah ah, ngga usah dimasalahin. gue juga udah ngga kenapa-kenapa, kok." aku berusaha melerai vano. takut kalau ada perkelahian.
"ngga bisa didiemin kei! kalo ngulangin lagi gimana?"
"maaf kak, ngga akan saya ulangin lagi. tadi ngga sengaja sumpah."
"yaudahlah," kataku, "lain kali hati-hati, jangan ada kejadian kaya gini lagi, oke?"
"i-iya, kak."
"nama lo siapa?" tanya vano.
"bari kak,"
"yaudah, bari, lo balik sana kekelas! untung ada dia!" vano menunjukku dengan matanya, "kalo ngga udah gue abisin lu!"
"i-iya kak."
dengan itu, bari berlari kepintu dan hilang begitu saja dari pandanganku.
"kesel gue," desis vano seraya kembali duduk disebelahku.
"yaudahlah, udah kejadian. mau gimana lagi?"
"harus dikasih pelajaran!"
"ngga usah! dia juga ngga sengaja kok."
"yaudah."
"tadi lo mau ngomong apa?"
"hah?" ia menggedarkan pandangan kesegala arah; menghindari menatap mataku. "yang mana?"
"yang tadi," desahku, "pikun lo!"
"oh," ia tergelak, "nanti aja di warping."
"mau ngomong apa sih pake harus di warping segala?"
"ngomong penting."
"alah!" gelakku. "gue balik ke kelas deh!" kataku seraya turun dari ranjang uks.
"eh kok kekelas sih?!" vano juga ikut turun dari ranjang.
"mau ganti baju." jawabku.
"gue anter ya kekelas?" katanya sambil menarik gagang pintu untukku.
"ngga usah," kataku, "bisa sendiri kok."
"yaudah, gue tunggu kantin deh. abis ganti baju langsung kekantin ya?"
aku mengangguk dan melangkah kekelasku dilantai dua dengan rasa nyeri yang muncul dilutut saat aku melangkah.
"lama banget sih? ngapain aja?" tanya atha saat aku mendudukan diri disampingnya.
"sumpah ya, tha." desisku sambil menoleh pada atha, "temennya jatoh gitu bukan diobatin, ditemenin diuks. teman macam apa kamu, tha." aku menghela nafas.
"kan tadi gue liat lo udah sama vano, gue pikir amanlah! dia juga ngga ngapa-ngapain lo kan?"
"ngga," kataku sambil melirik plaster bergambar hati dilututku, "dia obatin gue."
"tuh kan! kalo firasat gue ya nih kei, vano tuh suka sama lo!".
"hah?" aku membulatkan mata menatap atha, "apaan sih ngaco aja lo, ah, belom minum obat ya? minum dulu tha biar ngga ngasal."
"gue serius, kalo dia ngga ada apa-apa sama lo, mana mungkin dia mau capek-capek ngangkat lo dan ngobatin lo gitu,"
"mungkin dia mau berterimakasih aja kali sama gue, gara-gara udah gue tolongin waktu itu."
"lo tuh ya," atha mendesah, "susah dibilanginnya, pokoknya kalau emang bener dia suka sama lo, lo harus traktir gue. oke?"
aku mengangguk setuju. lagipula mana mungkin vano 'suka' denganku?
-
"hey?" aku duduk dihadapan vano yang sedang memainkan ponselnya.
ia menoleh, "eh, kei? kenapa nih?"
aku mengernyitkan dahi. "katanya lo mau ngomong?"
"oh iya!" vano berteriak. "ah makan dulu deh kei! gue pesenin bakso ya! lo belum makan kan?"
"hehe iya,"
sehabis memesan bakso pada pakde, ia kembali duduk didepanku.
"mau ngomong apaan sih?" tanyaku penasaran.
"makan dulu kei, laper dari pagi belum makan,"
pakde datang membawa dua mangkuk pesanan vano untukku dan untuknya.
aku memakan baksoku dengan nikmat, begitu juga vano. sampai habis.
"udah nih, mau ngomong apa?"
vano menatapku dan meletakkan sendok dan garpu diatas mangkuk. its getting serious now.
"kei, lo tau kan gue di do dari sini?"
aku mengangguk.
"gue mau dibawa ke sydney, kei. sama suaminya kakak gue." ia mendesah, "gue bakal nerusin sekolah disana."
aku mematung. tidak dapat berkata-kata lagi. kukira ia hanya akan pindah sekolah didekat-dekat sini, atau paling tidak mungkin diluar kota. aku belum siap, bukankah kita baru saja didekatkan sedekat nadi? mengapa harus dipisahkan lagi sejauh bumi dan matahari?
"mungkin kita ngga bakal bisa ketemu lagi, kei."[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...