"bentar, gue cari bantuan dulu." kataku seraya melepaskan pelukan.
aku segera berlari kedalam sekolah dan menemukan atha sedang berlari kearahku di depan gerbang.
"parah!" pekikku tanpa ditanya atha, "gue harus nganter dia pulang, tha. gue mau pesen taksi." kataku sebisa mungkin dengan tenang.
atha mengelus bahuku, "udah tenang aja. gue yang urus, lo temenin vano aja. nanti gue nyusul kalo udah pesen taksi."
"thanks, cepet ya tha."
dengan segera aku berlari lagi ke warung samping. vano masih ada disana sambil memegangi wajahnya yang babak belur.
"kei, sini deh."
aku duduk dihadapannya. tubuhku bergetar hebat melihat darah terus mengalir dari berbagai sudut wajahnya. aku tidak tahu harus apa sejak aku tidak mempunyai kotak p3k seperti dirumah dan warung samping sudah tutup.
dengan satu gerakan, aku melepas sweater merah maroon ku lalu menyerahkannya pada vano.
"apaan? gue disuruh make ini?" ia menatapku sambil terkekeh, "ngga mau."
"bukan, ih." jawabku sambil mengendus sebal. bisa-bisanya ia bercanda pada keadaan seperti ini. "buat bersihin luka lo,"
"ah, udah biasa gue. ngga usah dibersihin ah entar juga kering sendiri."
"apaansih?" dengan kesal, aku mengarahkan lengan sweaterku pada wajah vano lalu membersihkan darah disudut bibirnya yang hampir hering.
"ah!" ia meringis, ralat, mendesah lebih tepatnya.
"dih apaan sih?" aku menarik tanganku dari wajahnya, "lebay banget katanya udah biasa."
"emang udah biasa." vano menataku dengan tatapan menggoda. "yang ngga biasa yang ngobatin. kayak ada manis-manisnya gitu diobatin lo."
"iklan banget!" kataku seraya mendorong pelan lengannya.
"argh!"
"eh, sori." aku baru menyadari kalau tangan yang barusan kudorong itu adalah tangan yang penuh sayatan pisau.
"mana sih yang manggilin taksi?" ia mengendus, "mau mati gue nungguinnya."
belum sempat kujawab, atha sudah menginterupsi dengan berkata kalau taxi yang ia pesan sudah menunggu di depan gerbang. atha lalu memghampiri kami dan membantuku membopong tubuh vano.
"lama banget lu, tha." desisnya, "gue hampir mati nungguinnya."
"apaansi? udah tau lagi begini masih aja bercanda!" decak atha.
"yeh lu sengaja ya tha lama-lamain biar gua mati? lu dendam kan sama gua?"
"bacot lo ah!" atha hampir saja melepaskan tangannya yang menopang bahu vano kalau saja aku tidak berteriak jangan.
"udah deh vano ngga usah bercanda. lo tuh lagi sakit!" aku menengahi.
"iya. ampun tuan ratu."
aku memutar bola mata. kami memasuki taxi. vano dan aku dikursi belakang penumpang sedangkan atha duduk dikursi depan sebelah supir.
"tas lo udah gue bawain. tuh!" ujar atha sambil menunjuk tas disebelahku yang memang tasku.
"thanks ya tha."
yang kutahu, atha sudah tahu rumah vano. jadi, vano tak usah menjadi penunjuk jalan untuk pak supir.
"kei," kata vano berbisik, aku juga tidak mengerti mengapa kami duduk sedekat ini padahal ruang dikedua sisi kami masih lumayan luas.
"hm?" aku menoleh.
"genggam gue, kei." vano menarik tangan dan menggengam jemariku. "gue mau mati,"
seketika aku tersentak. lalu menatapnya dengan mata yang ingin keluar.
vano menyengir lebar dan aku sadar kalau ia hanya bohong agar aku menggenggam jemarinya. tapi, kalaupun tanpa berbohong seperti itu, aku akan tetap menggenggam jemarinya.
—
"ini sih harus istirahat aja yang banyak dan jangan lupa obat yang saya kasih diminum. cuma vitamin kok. manis!" ucap dokter rian setelah memperban berbagai luka ditubuh vano.
"makasih, dok." kataku.
"ayo saya anter keluar dok." ucap mbok sambil menghantar dokter rian keluar.
"aus deh," pekik atha. "van, gue ambil minum ya?"
"ambil sendiri deh sana!"
"kei mau minum?"
"ngga usah. nanti gue ambil sendiri."
aku berjalan mendekati vano yang sedang terbaring diranjang.
"keiya, gue mau tidur."
aku menghentikan langkahku lalu tersenyum kemudian memutar langkahku lagi.
"siapa suruh lo keluar?"
aku menoleh dan menatapnya bingung. "katanya mau tidur?"
"emang gue mau tidur, capek. tapi, gue mau ditemenin sama lo. makanya kalo orang lagi ngomong didengerin sampe selesai," vano menunjuk kursi disebelah ranjangnya. menyuruhku duduk disana.
dengan ragu, kulangkahkan kakiku dan duduk dikursi biru tua itu.
"kei, genggam gue." katanya sambil mengeluarkan lengan kanannya yang tadi senbunyi didalam selimut.
aku menggenggam jemari vano. ia lalu memejamkan matanya, ia benar-benar ingin tidur sepertinya.
"nanti gue ngga anter ya pulangnya, sori."
aku mengangguk. "kan ada atha."
vano membuka matanya, "kei, nanyi dong!"
"hah? nyanyi apa?"
"apa aja." jawabnya sambil menggerakkan jemari kami diudara. "yang penting nyanyi."
"g-gue ngga bisa nyanyi."
ia menatap mataku dalam, "kalo gue besok mati, nyesel lo ngga nyanyiin gue."
"hush, apaan sih?" aku melepas genggaman kami, "jangan ngomong gitu ah."
"yaudah nyanyi makanya!" pintanya sambil menarik lenganku lagi lalu menggenggamnya lagi.
"when you try your best, but you don't succeed. when you get what you want, but not what you need.
when you feel so tired, but you can't sleep.
stuck in reverse."aku bernyanyi dengan ragu sambil menatap wajahnya. ia sudah menutup matanya sejak tadi.
"and the tears come streaming down your face
when you lose something you can't replace
wen you love someone, but it goes to waste
could it be worse?""kei," panggilnya tanpa membuka mata.
"hm?"
"suara lo bagus. tetep nyanyi ya! gue ngga mau kehilangan lo,"
aku tersenyum menatapnya lalu dengan perlahan kuusap pelan rambutnya.
"lights will guide you home
and ignite your bones
and I will try to fix you"[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Ficção AdolescenteKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...