"Jadi, kemarin Vano nginep dirumah lo?"
Atha bertanya setelah kujelaskan panjang lebar apa yang terjadi pada Vano sampai akhirnya ia bisa menginap dirumahku.
"Musti gue bilang berapa kali sih?" aku mendesah pelan, "Dia nginep dirumah gue." aku menekan kata nginep dikalimatku.
"Terus?" tanya Dhira menggebu-gebu. "Pantesan tadi anak-anak GRV mukanya pada cemas gitu.. Ternyata ketua gengnya diserang."
"Nggak tega gue dhir," keluhku. "Dia pucet banget kemarin,"
"Kya lah, gila! Bayangin aja diserang limabelas orang woi! Untung dia bisa kabur, kalo nggak udah goodbye kali tuh dia."
"Makanya dhir, jangan suka doain orang yang jelek-jelek ah, ngeri kan kalo kejadian beneran." kataku mengingat perkataan dhira dikantin kemarin.
"Eh? Iya juga ya? gue kemarin nyumpahin dia kenapa-kenapa ya?" mimik muka dhira berubah jadi cemas, "Duh, sori deh, gue udah kebawa emosi kemarin."
"Tapi sekarang dia udah nggak kenapa-kenapa kan, kei?" tanya Atha.
"Nggak, tha. tapi masih ada bekas memar diwajahnya."
"Terus terus," sergah dhira, "Dia beneran nganterin lo beli novel? Bukannya dia pemalas banget ya? Nulis aja nggak pernah, kok mau maunya nemenin lo ke toko buku?"
"Iya." kataku. "Dia sampe nyaranin gue beli the fault in our stars, kata dia, itu buku pasti sedih. Terus gue bilang aja gue udah baca dan emang gue udah baca sekaligus nonton filmnya."
"Masa sih? Seorang Revano loh mau-maunya masuk toko buku?"
Aku menggedikkan bahu, "Nggak ngerti gue juga."
"Terus dia nggak cerita apa-apa lagi sama lo?" tanya dhira penasaran.
Aku menggeleng. Kurasa sudah cukup sampai disini menceritakan apa yang terjadi diantara vano dan aku. aku juga tidak menceritakan masalah orangtua Vano yang juga ada dikecelakaan pesawat naas yang juga merenggut nyawa orangtuaku. Aku pikir, tidak perlu. Itu terlalu personal.
Satu jam berlalu, kedua temanku itu pamit setelah kami bercerita random tentang apa saja yang terlintas dibenak kami. aku merebahkan tubuhku, kuambil ponselku dinakas.
revano added you as a friend
revano: kei addback yaa
keiya: oke
revano: makasih banyak ya kei atas semuanya
keiya: van, lo udah ngomong berkali2
revano: gpp kei
revano: bsk lo masuk?keiya: msk
revano: oke
revano: good night ya, keiyaAku, dengan senyum melengkuk diwajahku, memejamkan mata, agar besok bisa bangun tepat waktu untuk sekolah.
Keesokan paginya aku bersiap-siap seperti biasa. Lalu turun kebawah untuk sarapan.
"Hey!" sapa Bang Arya yang tengah menyiapkan makanan didapur.
"Abang nggak kekantor?"
Bang Arya menggeleng lalu berjalan ke meja makan, menyodorkanku semangkuk sereal, "Abang ambil cuti. Capek abis lembur."
"Oh." aku menyuapkan sereal kemulutku.
"Kemarin gimana? Si Vano itu?"
Aku tak langsung menjawab melainkan meneguk susu coklat yang tadi disiapkan bang arya terlebih dahulu. "Ya nggak gimana-gimana, dia pulang pas paginya."
"Oh.." Bang Arya mengangguk-angguk, "Yuk, Abang anterin kesekolah."
Aku seegera menyambar tas gemblokku di samping dan mengikuti Bang Arya menuju halaman rumah. Setengah jam kemudian aku baru sampai sekolah. Sebelum turun dari mobil, tidak lupa kucium pipi bang arya seperti biasa.
"Nanti mau dijemput nggak? sekalian kita makan diluar, udah lama ngga quality time bareng kei.
"Hm," aku berpikir, "Kei juga kangen jalan bareng Abang. Yaudah nanti Kei kabarin ya kalo udah pulang."
"Iya. Yaudah sana masuk!"
"Dadah!" kataku setelah keluar dari mobil Bang Arya.
"Dadah! Abang pulang ya!"
Aku berjalan santai di koridor lalu naik tangga untuk menuju kelasku di lantai dua. Saat sampai, dikelas sudah lumayan ramai. Tapi, Vano beserta kawan-kawannya belum terlihat di dalam kelas.
"Nanti nggak latihan saman kan?" tanyaku pada Atha yang sedang main tample run diponselnya.
"Nggak, kenapa?" jawab Atha tanpa menoleh dari ponselnya.
Aku dengan isengnya menekan layar ponsel atha dengan asal sehingga orang yang dikejar-kejar gorila menabrak tembok hingga muncul tulisan game over di handphonenya.
"Apaansih?" Atha menatapku jengkel, lalu cemberut. "Kebiasaan banget. Gue kan udah jalan jauh banget gitu."
Aku tertawa puas. "Yaudah sih kan masih bisa main lagi."
"Tau ah!"
Bel masuk berbunyi seraya Pak Buyung masuk. Pelajaran Sejarah kali ini mungkin berjalan tidak baik karena anggota GRV tidak masuk ke kelas padahal tadi aku melihat sebagian dari mereka di lapangan. Pasti mereka bolos, pikirku.
Aku, Atha, dan Dhira segera menuju kantin saat mendengar bel berbunyi. Entah kenapa saat ini perut kami sama-sama butuh asupan. Kami menempati meja kosong ditengah. Kantin belum begitu ramai. Syukurlah.
"Gue sama Atha pesen makanan deh. Lo tunggu sini ya Kei, jagain meja."
"Siaap boss!"
"Lo mau makan apa, Kei?"
"Siomay aja deh. Minumnya air mineral aja."
"Oke."
Setelah itu Atha melangkah menuju kios siomay, sedangkan Dhira melangkah menuju ruko minuman. Dan aku? Menjaga meja agar tidak ada yang menduduki.
"Kei," seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan menemukan Vani tengah tersenyum padaku.
"Hey!" sapaku.
Vano mendudukan dirinya di sebelahku. "Tadi Pak Buyung masuk?"
"Masuk. Lo kemana kok enggak masuk kelas?"
"Disini aja, nggak kemana-mana," jawabnya. "Gue lagi nyeritain kejadian waktu diserang."
"Terus?"
"Nggak ada terusannya, Kei." ia terkekeh.
Aku menganggukkan kepala.
"Mau minum? Belum gue buka kok." Vani menyodorkan teh botol kedekatku.
"Nggak, makasih."
"Oh iyalupa," Vano kembali menarik teh botol itu, "Lo kan minumnya air putih ya, yang sehat-sehat."
Aku menaikkan alis, "Hah?"
"Nggak. Yaudah gue kesana dulu ya?" Vano menunjuk teman-temannya yang sedang kumpul dipojok kantin.
"Iya."
Ia tersenyum dan melangkah kembali keteman-temannya yang lain.
Sejak Vano mengetuk pagar rumahku dan meringis dihadapanku, ia banyak berubah. Yang tadinya untuk sekedar menyapaku saja tidak pernah, sekarang malah menghampiriku dan mengajakku bicara di kantin. Yang tadinya hanya sekedar menatapku sekilas lalu berlalu, sekarang malah selalu tersenyum ketika menatapku.
Aku menatap punggung Vano dari kejauhan, dan aku menyadari satu hal; Vano sudah bukan Vano yang kutahu sangat digin padaku dulu, ia sudah berubah. Meskipun sedikit. Dan aku sebenarnya malu untuk mengakui ini tapi, aku senang bisa menjadi temannya.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...