bonus chapter

102K 6.5K 155
                                        

"c'mon, reiya! come to ibu!"

dengan langkah kaku, reiya berjalan menghampiriku, dengan telapak tangan yang berlumuran coklat. setelah jaraknya beberapa jengkal lagi dihadapanku, aku buru-buru menariknya dalam pelukanku.

"ah, ibu bangga banget sama kamu, rei!" sorakku penuh gembira. bagaimana tidak? ini adalah kali pertama reiya berjalan setelah sekian lama kuajari. "kita telfon ayah ya! bilang kalau reiya udah bisa jalan, yey!"

reiya terduduk dan mulai mengisap jari-jarinya yang berlumuran coklat, mataku berbinar, meski baru beberapa langkah, aku tetap terharu melihat reiya yang sudah bisa jalan, menurutku semua orangtua juga akan merasakan apa yang kurasakan saat melihat anaknya bisa berjalan untuk pertama kalinya.

aku buru-buru merogoh ponselku didalam laci, dan menggendong reiya kemeja makan. dengan perasaan gembira, aku menekan nomernya dan meletakkan ponselku ditelinga. dua detik setelahnya, sebuah suara menyapaku hangat.

"cepet banget sih jawabnya?"

"aduh kamu, aku angkat lama, ngomel. angkat cepat, ngomel juga. mau kamu apa?" jawabnya diujung telepon, nada bicara dibuat seperti orang kesal, meski dua detik kemudian, ia tertawa, "ada apa kamu telfon?"

aku ikut tertawa mendengarnya, meski tidak bisa melihat wajahnya, aku tahu ia sedang tersenyum meski setumpuk berkas-berkas menunggu didepannya. "kamu pulang jam berapa? ada yang mau aku bicarain."

"hm.." ia diam, seperti berpikir. "emangnya ada apa? kamu kenapa? sakit? apa reiya yang sakit?" tanyanya panik.

"ngga ada yang sakit ih!" jawabku sedikit kesal, "kamu pulangnya jam berapa?"

"sekarang aku pulang."

dengan itu, sambungan telfon ia putus. aku langsung mendongak melihat jam didinding, baru pukul tiga sore yang artinya ia baru akan pulang dua jam lagi biasanya. aku menggelengkan kepala.

dia itu....

selalu bisa membuatku bahagia..

** 

setelah mandi dan memakai baju dress pink yang dibelikan oleh omnya, reiya duduk diatas karpet sambil memainkan berbagai mainan yang ia punya. aku menatapnya dengan perasaan senang sekaligus terharu.

aku tidak menyangka hubunganku dengan revano akan sejauh ini. kami masuk ke kampus yang berbeda setelah lulus, namun hubungan kami tetap berjalan dengan baik sampai kami wisuda dan ia melamarku. enam bulan kemudian kami menikah.

setelah tiga bulan menikah, aku dinyatakan hamil. aku dan vano merasa sangat senang sekaligus terharu. kami memutuskan untuk tidak mengetahui jenis kelamin dari bayi yang kukandung selama sembilan bulan, biar surprise, katanya. dan benar saja, aku baru mengetahui kalau anak kami itu perempuan saat ia lahir.

aku kalah taruhan.

ya, aku bertaruh kalau anak yang kukandung ini berjenis kelamin laki-laki dan vano sebaliknya.

jadi, setelah kembali kerumah seusai persalinan, aku harus mentraktirnya ice cream karena sudah kalah taruhan.

pada saat itu, kami kebingungan setengah mati karena untuk urusan nama, tentu saja kami belum menyiapkannya. tahu jenis kelaminnya saja tidak. akhirnya daripada bingung menentukan nama yang pas, aku memutuskan untuk menggabungkan nama kami berdua. revano dan keiya. jadilah reiya.

kadang, aku masih tidak percaya kalau jodohku tidak lain tidak bukan adalah revano. orang yang tidak pernah bicara denganku saat di sma. aku sering senyum-senyum sendiri kalau mengingat momemt-moment yang pernah kulewati dengan vano dimasa lampau.

ingatanku tentang kejadian-kejadian dimasa lalu terinterupsi karena bel rumah berbunyi beberapa kali, aku langsung menggendong reiya dan sedikit berlari untuk membuka pintu.

pemandangan vano dengan lengan kemeja yang digulung serta wajahnya yang sedikit lesuh menjadi pemandangan pertamaku saat membuka pintu. aku tersenyum lebar, ia segera mencium keningku, juga kening reiya. setelah itu, vano mengambil alih reiya dariku.

"ayah sudah pulang!" pekikku girang. "reiya, sekarang kita kasih tahu apa yang sudah kamu lakukan hari ini yaa sama ayah! pasti ayah bangga!"

"ada apa sih? kok kamu senang banget? reiya melakukan apa?" tanya vano tapi tatapannya malah ke reiya yang sekarang sedang bermanja-manja didada ayahnya.

aku segera menarik vano untuk masuk kedalam rumah dan membawanya keruang keluarga. aku menyuruhnya duduk disofa sedangkan aku mulai menempatkan reiya dihadapannya dengan posisi berdiri.

"apa-apaan, keiya?!" pekik vano panik dan saat ia baru mau beranjak, aku segera menyuruhnya duduk lagi. "dia belum bisa jalan, keiya sayang."

"itu yang mau aku tunjukkan pada ayah," jawabku meniru suara anak kecil.

setelah reiya berdiri tegak, perlahan tapi pasti, reiya mulai melangkah dengan kaku. tapi pada akhirnya langkah kakunya itu membawanya kepelukan revano yang sedang menatap haru putri satu-satunya itu.

"ayah bangga, putriku yang tercintaa!" pekiknya senang sambil tak hentinya menciumi pipi reiya.

aku menghampiri dan duduk disebelahnya. ia menoleh dan tersenyum kearahku. aku mendekati wajahku dan mencium pipinya.

"mas, kita taruhan lagi yuk!"

vano mengernyitkan dahi, "taruhan apa? bola? emang kamu ngerti?"

aku menggeleng. "taruhan tebak jenis kelamin,"

"jenis kelamin siapa? bayi? bayi siapa? atha? atau siapa?"

"IH MASA ATHA?" pekikku, "atha kan baru aja lahiran bulan kemarin, mas, masa hamil lagi?"

"ya, abis, siapa?" vano menurunkan reiya kebawah sofa, yang disambut girang oleh reiya karena ia bisa memainkan mainannya lagi. "kamu ngomong yang jelas, dong."

"hmm, reiya bakalan punya adik."

mata vano melebar, ia menatapku tak percaya. semenit kemudian, ia tersenyum lebar lalu mengecup keningku cukup lama.

kemudian vano menatap mataku dalam-dalam. "oke, aku tebak kali ini anaknya laki-laki."

aku tergelak.

"berarti kamu pegang perempuan, ya!"

aku tergelak lagi.

vano tersenyum penuh arti, "kalau aku yang menang, kamu harus izinin aku beli motor gede yang waktu itu aku kasih tahu kekamu, ya."

aku melotot, lalu ikut tersenyum. "deal."[]

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang