Ericca membubarkan kami setelah satu setengah jam berlatih. Aku, Atha, Dhira, Ericca, dan Trisca sekarang sedang dalam perjalan menuju gerbang sekolah untuk pulang.
"Beli cincau dulu, yuk."
Kami mengiyakan. Tumben tukang cincau itu masih ada didepan sekolahku, biasanya jam segini sudah es cincaunya sudah habis.
"Abang mau ya 5."
Trisca memesan dan kami serempak menempati bangku plastik yang disediakan.
"Ca, gue nggak pake cincau ya. Esnya aja." pesanku.
"Yang satu jangan pake cincau, Bang!" teriak Trisca.
"Bukan es cincau dong namanya," cibir Ericc, diikuti tawa dari keempat temanku.
"Lo balik naik apa, Kei?" tanya Trisca.
Aku mengoper tisu Atha kepada Ericca. "Biasa, naik angkot."
"Bareng dong Kei." kata ericca.
Aku mengangguk dan lanjut menghabiskan esku. Beberapa menit kemudian kami berpisah, aku dan Ericca naik angkot, Atha dijemput oleh pacarnya, Trisca pulang dengan gojek. Dan Dhira naik angkot juga, tapi berbeda denganku.
"Kiri Bang!" aku menyetop angkot tepat di depan gerbang komplek ku, "Er, gue duluan ya."
"Iya, thanks ya udah latihan hari ini."
"Gue yang thanks, udah ditraktir es cincau."
Ericca tertawa, "Iya iya."
"Gue turun ya, duluan, dah!"
"Hati-hati, Kei!"
"Iya!" kataku setengah berteriak karena aku sudah turun dari angkot.
Aku berjalan dibawah payung ungu tuaku. cuaca panas sekali sehingga mengharuskanku membuka payung yang setiap hari kubawa itu. Lima menit kemudian, aku sampai dirumah, dan langdunh naik keatas untuk menuju kamarku.
Setelah ganti baju dan cuci kaki, aku berniat untuk tidur sebentar untuk merenggangkan tubuhku. kurebahkan tubuhku diatas kasur, kubiarkan jendela besar dikamarku terbuka, supaya angin bisa masuk. perlahan kupejamkan mataku.
Duk! Duk! Duk!
Baru saja aku ingin tertidur pulas, pagar rumahku seperti ada yang mengetuknya. Ah, mungkin orang iseng, batinku.
Duk! Duk! Duk!
Kudiamkan, malah makin jadi. Maka, dengan malas, kulangkahkan kakiku menuju halaman untuk melihat siapa gerangan yang menganggu tidur siangku hari ini.
Setelah mengambil kunci gembok yang digantung disamping pintu rumahku, aku melangkah ke pagar dan membuka gemboknya lalu menggeser pagar besiku itu.
"V––vano?"
Revano. Teman sekelasku.
Yang jadi pertanyaanku, mau apa dia kemari?
Dan, bagaimana dia tahu rumahku?
Bukankah kita tidak pernah saling bicara?
Revano meringis memegangi wajahnya yang memar, ada darah disudut bibirnya. Ia babak belur.
"Sorry, kei." kalimat pertamanya padaku, "Boleh minta tolong?"
Aku tertegun sebentar, "Iya." kataku. "Ayo masuk dulu."
Vano mengikutiku masuk kedalam dan aku menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu selagi aku mengambil Kotak P3K didapur.
Setelah itu aku kembali dan duduk disebelahnya, dengan gemetar aku eneteskan obat merah keatas kapas. Aku masih bingung sekaligus kaget akan kedatangan Vano sore ini.
Kuserahkan kapas itu padanya, "Bisa sendiri?"
Ia mengangguk dan menarik kapas itu dari tanganku, "Anjing!" Vano berteriak dan menjauhkan kapas itu setelah mendarat tepat di ujung bibirnya.
"Perlu bantuan?" tawarku.
"Nggak, maaf ya gue ngomong kasar."
Aku menggeleng, "Gue ambilin minum dulu, ya."
"Nggak usah!" baru saja aku mau berdiri, kaki vano menahan kakiku dari bawah.
Aku menurutinya. "Kok bisa disini?"
Vano menoleh, lalu meringis. "Hah?"
"Elo," aku munjuk Vano dengan daguku. "Kok bisa tau rumah gue?"
Lelaki itu mendesah pelan, lalu meletakkan kapas itu diatas meja. "Gue diserang.."
"Diserang gimana?" tanyaku. "Sama siapa?"
"Hari ini seharusnya gue tauran sama sekolah lain, lo ngga perlu tau sekolahnya, kita sebut aja sekolah A. Nah, tadi pas istirahat itu, satu anak dari sekolah A ngehubungin gue, katanya mereka cuma mau gue. Jadi, gue diajakin one by one tuh sama mereka." Vano menarik napas sebentar. "Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya gue pergi sendiri ketempat yang udah ditentuin si sekolah A ini."
Aku mencerna perkataan Vano. Rumit namun bisa kupahami. "Terus?"
Vano menempelkan kapasnya lagi, "Terus gue datengin tuh, pas sampe sa-anjing sakit!" ia meringis, "Maaf ya. Pas sampe sana, ternyata dia nggak sendiri. gue diserang, satu lawan 15! Pengecut emang!"
"Satu lawan limabelas?" aku menutup mulutku dengan tangan, kaget.
Tubuhku bergetar, dari dulu, aku paling tidak suka melihat orang bertengkar apalagi sampai menimbulkan luka-luka, aku takut darah. Dan aku bisa menangis kalau melihat orang bakuhantam didepanku.
Vano mengangguk. "Gue lari kedalem komplek ini, diselametin satpam. Gue ditanya sekolah dimana, dan ternyata gue dikasih tau kalo lo tinggal disini.."
"Gue ambilin minum dulu, ya."
Aku melangkah menuju dapur. diam-diam satu tetes air mataku jatuh. Lebay memang, tapi, sungguh, aku tak kuat melihat vano babak belur begitu. Bayangkan saja, satu lawan limabelas.
"Minum dulu, Van." aku menyodorkan segelas air putih dingin padanya.
Vano meneguk air putih itu sampai habis. "Kei, makasih ya."
"Iya. sama-sama."
Kemudian hening selama beberapa menit sebelum aku bertanya tentang keberadaan motornya.
"Motor gue diambil, Kei." jawab Vano."Mereka pada bawa golok, terus maksa nahan motor gue. Kayaknya mereka emang ngincer motot gue deh."
Astaga! Satu lawan limabelas dan mereka membawa golok? Dan sekarang Vano bisa-bisanya tertawa padahal wajahnya babak belur.
"Lo mau kedokter?"
Ia menoleh dan menatapku. "Ngapain?"
"Lo sakit, Revano.."
"Makasih." katanya diikuti kekehan pelan. "Tapi nggak. Gue nggakpapa."
Ingin rasanya kuteriak 'apanya yang ngga kenapa-kenapa, lo babak belur, vano!!' didepan wajahnya. Tapi, kutahan.
"Kei, boleh ngga gue pinjem kamar mandi lo? Gue mau mandi."
"Iya, boleh." aku mengajaknya naik keatas untuk mandi dikamar mandi yang ada di kamar bang arya.
"Ini, pake.. Punya abang gue, badannya sama kaya lo kok." aku memberikannya kaus putih dan jeans selutut milik bang arya.
Saat aku ingin kembali kekamarku, tangan vano menahan bahuku. "Keiya, makasih banyak ya."
Aku tersenyum lalu kembali melangkah ke kamarku. Di dalam kamar aku memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Ya Tuhan! Ada seorang lelaki dirumahku. Lelaki yang bahkan tidak pernah bicara sebelumnya padaku. Apa yang harus kulakukan?[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...