saat bel pulang sekolah berdering, aku segera menuju warung samping untuk menemui vano sebagaimana tadi kami sudah janjian. saat keluar gerbang, aku melihatnya tengah duduk dibangku kayu didepan warung samping sambil menghisap rokoknya. sepertinya ia belum menyadari kehadiranku.
"hey!" sapaku lalu duduk disebelahnya.
vano menoleh dan segera membuang dan menginjak rokok yang masih panjang itu ke aspal.
"kok dibuang?"
"kan udah pernah gue bilang. gue ngga mau ngerokok didepan lo, nanti lo kenapa-kenapa lagi."
aku mengeryitkan dahi, "lo ngga mau nyakitin gue tapi lo nyakitin diri lo sendiri." kataku tegas. aku belum pernah bicara setegas ini padanya. entah aku hanya kesal padanya saat ini.
ia menoleh, menatapku dengan bingung. ia lalu tersenyum, "jadi lo mau gue berhenti ngerokok?"
"terserah," ketusku. "gue ngga mau aja lo berhenti ngerokok karena gue. lo harus berhenti ngerokok karena kemauan lo sendiri. kemauan lo untuk sehat!"
vano merogoh saku celana jeansnya lalu mengeluarkan dan menyodorkan rokok marlboro menthol smooth dan korek zippo padaku.
"gue mau berubah,"
aku menerima rokok dan koreknya. "serius? bukan karena gue kan?"
ia menggeleng. "gue mau berubah."
"yaudah gue buang ya,"
vano menahan tanganku yang mau membuang rokok dan koreknya itu.
"katanya mau berubah? ngga mau ngerokok lagi?"
ia menarik rambutnya frustasi. lalu ia memejamkan matanya. "gue ngga mau liat lo buang barang kesayangan gue," ia melepas tanganku.
"udah gue buang."
vano mengangguk lemah.
"bu, mau permen kaki dong lima." kataku meminta permen kaki pada ibu penjaga warung samping.
"nih neng,"
"nih van." aku memberinya permen kaki itu.
"hah?" ia menatapku bingung. "apaan deh lo ngga jelas anjir."
"permen pengganti rokok."
"oalah, makasih ya."
aku mengangguk. "ada perlu lagi ngga? gue mau masuk lagi nih, mau saman."
vano tak langsung menjawab. ia menatap aspal didepan kami. "gue di drop out, kei."
"hm?" aku menoleh menatapnya kaget. bisa aja aku salah dengar saat ia bilang bahwa ia akan di drop out.
"gue," katanya sambil tergelak. "di drop out. dikeluarin."
aku menggigit bibirku. entah ada perasaan yang timbul dihatiku saat ia bilang kalau ia dikeluarkan. maksudku, ini sangat rumit. aku sendiri tidak tahu ini perasaan apa yang pasti ada rasa kehilangan saat mengetahui kalau vano tidak akan ada disekolah ini lagi. entahlah semua sangat rumit sejak ia menggedor pagar rumahku.
"k-kok bisa?"
"gue nusuk orang. gue dipenjara. sekolah ngga bisa ngasih gue toleransi lagi." ia menggedikkan bahu. "gue dikeluarin deh."
"terus, lo mau sekolah dimana?" tanyaku ragu.
ia menggedikkan bahu lagi. "belum tahu,"
"van, sori." aku berdiri, "gue masuk dulu ya. ngga enak udah ditungguin anak-anak."
"kei," ia menahan tanganku. "jangan jauhin gue ya."
aku mengangguk dan tersenyum.
ia melepaskan tangannya, "lo nanti pulang sama gue ya! gue tungguin disini."
aku hanya mengangguk dan segera melangkah masuk kesekolah. tetes air mata pertamaku jatuh saat memasuki gerbang.
entah, aku belum siap kehilangannya.
++
aku sedang melihat anak kelas sepuluh latihan sambil memakan chitato sapi panggangku saat dhira dan trisca memasuki ruangan dengan tergesa-gesa.
"woi, vano digebukin!" pekik dhira.
seketika chitato yang kupegang jatuh. semua orang memandangku bingung.
"d-dimana d-dhir?"
dhira menghampiriku yang sudah terduduk dilantai. lututku melemas saat mendengar vano berkelahi (lagi).
"apa, kei?" dhira merangkulku.
"v-vano di..mana?"
"disamping."
aku berdiri. "gue kesana dulu."
dengan langkah gemetar, aku kembali menuju warung samping. hatiku berdegup kencang karena takut terjadi apa-apa pada vano.
saat disana, kulihat pak satpam sedang menengahi perkelahian antara vano dan tiga orang yang tak kukenal.
lututku lemas lagi. air mataku meleleh. aku menangis. sudah pernah kubilang kan, kalau aku paling tidak bisa melihat orang berkelahi?
setelah berhasil menangani tiga orang itu, pak satpam membawa mereka kedalam sekolah dan membiarkan vano tergeletak lemas diaspal.
aku menghampiri vano yang sedang bersandar ditembok dengan luka disekujur tubuhnya.
"v-van.." panggilku lirih.
ia menoleh lalu tersenyum walau dengan darah mengalir diberbagai sudut wajahnya.
aku menghampiri dan duduk didepannya. saat didekatnya, terlihatlah bekas sayatan pisau dikedua lengannya yang mengeluarkan darah.
"astagfirullah," desisku diikuti bulir air yang keluar dikedua mataku.
"p-peluk g-gue, kei." pintanya dengan susah payah.
maka, saat itu juga, untuk pertama kalinya, aku merentangkan kedua tanganku, lalu menariknya dalam dekapanku.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Teen FictionKami sekelas. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dengan si pembuat onar di kelas. Dengan si murid paling urakan di sekolah. Suatu hari, dia menggedor pagar rumahku. Wajahnya memar, terdapat darah di ujung bibirnya. Dia babak bel...