12. Rafadinata?

428 49 49
                                    

     Hampir selama tiga jam, Nata terus bergelung kesana-kemari di atas kasurnya. Mencari posisi senyaman mungkin baginya.

     Pikirannya sejak tadi terus melayang, pada kejadian saat jam istirahat. Saat dirinya menonjok seorang cewek yang akhir-akhir ini kembali dekat dengannya. Dan dengan sangat ngga gentlenya, ia justru hanya diam membeku, menatap cewek itu tergeletak di hadapannya. Tanpa ada pergerakan untuk menggendongnya ke ruang UKS, seperti apa yang di lakukan Reno.

     Otaknya terus berkecamuk, memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan saat ini. Mendatangi rumah Alesha untuk menjenguk cewek itu, adalah pemikiran yang sedari tadi terus terlintas di benaknya.

     Dan entah untuk ke berapa kalinya, Nata menghembuskan nafas kasar. Mendesah frustasi, saat dirinya tak kunjung merasakan nyaman di tempat yang biasanya ia gunakan untuk melepas penatnya setelah seharian beraktivitas di luar.

     Suara bel dari arah pintu utama apartemennya, menginterupsi Nata untuk bangkit dari posisi ke tidak nyamanannya di atas kasur.

     Saat pintu apartemen terbuka, Nata menatap pria di hadapannya tanpa minat, terlebih saat melihat raut wajah yang di tampilkan pria itu padanya.

     Ronald. Pria yang sudah menginjak kepala tiga lebih, namun masih single itu ialah, orang kepercayaan Papanya sejak Nata kecil. Tanpa izin dari sang pemilik apartemen, Ronald masuk begitu saja melewati Nata. Dan mendudukkan dirinya di salah satu sofa di ruang tengah, dengan menyender pada kepala sofa. Nata mengikuti gerak-gerik Ronald, yang sudah ia anggap seperti Om bahkan Kakaknya sendiri.

     "Mau sampai kapan, Nat?" Ronald akhirnya buka suara, setelah hampir 15 menit tak ada yang bersuara.

     Yang di tanya bergeming, hanya mengedikan bahunya tak acuh.

     Guratan raut wajah sedih, semakin terlihat jelas di wajah Ronald. Terdengar helaan nafas lelah dari mulutnya. "Nat, ayolah, kamu sudah dewasa. Seharusnya kamu bisa berpikir lebih dewasa dari ini, bukannya kabur-kaburan kaya gini, terus ngambek ngga pulang-pulang."

     Nata mendengus geli. "Seharusnya Papa yang Om bilangin kaya gitu," ujar Nata, membalikan suatu fakta. "Papa yang seharusnya Om bilangin untuk berpikir lebih dewasa, dengan ngga buang aku gitu aja di negeri orang! Negeri yang sebelumnya, sama sekali ngga aku tau gimana seluk-beluknya!" suara Nata meninggi.

     "Nat, Papa kamu punya al---"

     Ucapan Ronald di potong oleh suara dingin yang menusuk dari Nata. "Aku. Ngga. Mau. Pulang."

     Selanjutnya, Nata mengambil jaket hitamnya yang tersampir di Stand Hanger belakang pintu utama apartemennya. Berlalu pergi keluar, meninggalkan Ronald yang terus menyerukan namanya agar cowok itu kembali.

****

     Alesha menolehkan wajahnya ke kanan, lalu ke kiri, begitu terus, dengan berulang secara konstan. Memainkan wajahnya berganti dari satu ekspresi, ke ekspresi lainnya. Lalu mengernyit lagi dan mendesah keras.

     Mata Alesha menyipit, menatap pantulan dirinya di cermin riasnya. Dirinya terlihat kacau, dengan bonyok berwarna biru yang terlihat kentara, di sekitaran tulang hidungnya.

     Alvin yang hari ini pulang lebih awal dari biasanya, sama sekali belum melihat kondisi Alesha yang seperti ini. Sejak pulang sekolah, Alesha terus mengurung dirinya di kamar. Takut-takut kalau Alvin melihatnya, Kakaknya itu akan sangat khawatir setengah mati, dengan gaya lebaynya.

     Tapi suara bel di ruang bawah, membuat kernyitan di dahinya semakin dalam. Siapa yang bertamu malam-malam begini ke rumahnya? Belum terlalu malam sih, baru jam 7 malam. Namun tetap saja terdengar tabu, bagi Alesha yang rumahnya jarang kedatangan tamu. Kecuali Tante dan Omnya, yang selalu datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu pada Alesha maupun Alvin.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang