17. Ditinggalkan (a)

244 17 1
                                    

     Pagi ini mendung. Sangat mendung, bahkan langit begitu kelam. Dengan balutan gaun serba hitam, gadis kecil berumur empat tahun itu sendiri, merenung, memperhatikan bagaimana rintik demi rintik air dari langit itu mulai membasahi jalanan di bawah sana. Bahkan langit pun ikut menangis saat mengetahui sumber kesedihannya.

     Masih terekam jelas di memorinya, bagaimana cara malaikat tanpa sayapnya itu mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan mulut bersimbah busa, tergeletak mengenaskan di dinginnya lantai kamar yang tak lagi memiliki cerita.

     'Semua karena tante iblis itu' fikirnya geram.

     "Ca, semuanya udah terjadi, kamu ngga bisa asal nyalahin orang sesuka kamu gitu aja karena keadaan yang berjalan ngga sesuai  harapan kamu," ucap lelaki yang telah menginjak umur tiga belas tahun dengan bijak. Warna pakaiannya sama dengan yang dipakai Alesha, semuanya serba hitam.

     Dahi Alesha mengernyit tidak mengerti dengan ucapan berat sang Kakak. Lalu setelah otaknya mulai bisa mencerna setiap katanya, dia menggeleng keras. "Semua salah mereka, Bang, salah keluarga mereka," balas Alesha dengan getir. "Kalau bukan karena mereka, Papa Caca ngga bakalan pergi, dan Mama juga ngga bakal ninggalin kita kaya gitu, Bang."

     Alvin mengusap puncak kepala Alesha dengan lembut, berharap dapat memberikan pengertian yang sama pada gadis belia di depannya.

     "Di luar ujan, kasian Tata dari tadi udah nungguin kamu lho. Kalo dia ngga boleh masuk, nanti dia sakit gimana?"

     "Biarin aja sakit, dia juga ngga kasian kok sama Caca nyampe semuanya sakit begini." balas Alesha dengan mata menyipit yang tak berperi.

     "Tadi dia bilang gini ke Abang, 'Tata mohon, Bang, Tata mau ketemu Caca. Besok-besok Tata udah ngga bakal bisa liat Caca lagi, nanti kalo Tata kangen gimana?' gitu katanya, Ca. Kasian dia, temuin ya? Abang suruh masuk ya?"

     "Ngga! Ngga boleh! Biarin aja dia kangen sama Caca, lagian emang Caca ngga bakal mau ketemu sama dia lagi kok."

     Sebuah mobil sedan yang berujuran agak besar berhenti tepat di depan rumah sebrang sana. Beberapa koper besar dimasukkan ke dalam bagasi mobil tersebut. Mata Alesha menyipit melihat pemandangan aneh di bawahnya.

     "Bang, itu kenapa banyak barang dari rumah Tata di pindah-pindahin ke mobil? Siapa yang mau pergi, Bang?" tanya Alesha gemas.

     Alvin menghembuskan nafas pelan. "Kan tadi Abang bilang apa?"

     Di samping mobil tersebut berdiri seorang pria yang sudah berkepala dua lebih. "Nat, ayo!" teriaknya memanggil Nata di depan sana.

     Tak lama Nata sudah berdiri di hadapan pria tersebut, kemudian berbalik lagi menatap rumah di sebrangnya untuk waktu yang cukup lama. Berharap apa yang ia lakukan itu  dapat membantunya untuk menyerap semua kenangan-kenangan indah yang pernah terjadi di sana ke dalam memori otaknya, bahkan kenangan terburuknya sekalipun akan ia simpan.

     Kini Mata Alesha terpancang sepenuhnya pada Alvin, dengan wajah pias tak percaya. "Tata beneran mau ninggalin Caca, Bang?" dengan alis tertaut sebal, air matanya jatuh semakin deras. Bangkit dan berlari dengan gerakan cepat. "Kok Tata jahatt?"

     Air matanya terus mengalir tanpa mau berhenti, ia ingin cepat-cepat sampai di hadapan sahabatnya sekarang juga, tapi kenapa rasanya sangat jauh? Padahal Alesha sudah berlari secepatnya, bahkan sampai tersandung di tangga. Untung Alvin menahannya dengan sigap. "Pelan-pelan, Ca."

     Menepis tangannya cepat, seolah ia telah tuli, Alesha kembali berlari lagi.

    "TATA!" di sebrang sana menampilkan seorang anak kecil yang siap meletakan kakinya di atas tumpuan, namun terhenti karena panggilan tersebut.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang