Jam yang tertempel di dinding, sudah menunjukan pukul 05.00 subuh. Tapi Nata masih terjaga. Padahal ia dan Alvin sudah selesai bermain Play Station sejak dua jam yang lalu. Namun pikirannya masih melayang pada percakapannya tadi bersama Alvin.
"Lo… Rafadinata kan?"
Sontak pertanyaan sarat akan pernyataan barusan, cukup membuat Nata menegang sejenak.
"Rafadinata, siapa?" tanya Nata balik, pura-pura bingung.
Alvin menolehkan kembali kepalanya, pada televisi di depannya. "Lo mungkin bisa bohongin Alesha," ucap Alvin.
Dengan pandangan tetap ke arah Alvin, Nata meneguk ludahnya sekali, mencoba membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. "Gue ngga ngerti maksud lo, Bang."
Alvin terkekeh pelan, tangannya masih sibuk memainkan stik PS di genggamannya dengan lihai. "Lebih tepatnya, pura-pura ngga ngerti."
Nata berusaha serileks mungkin, lalu menggelengkan kepalanya sambil mendengus geli. "Lo ngga jelas sumpah, Bang."
Setelah itu, yang mereka lakukan adalah kembali sibuk bermain. Namun tetap saja, Alvin tetap mengoceh sesuka hatinya.
"Siapa orang yang tau kalau Alesha suka banget sama cokelat? Siapa orang yang suka nangis kejer di rumah Alesha, cuman buat ngadu kalo dia lagi kesel di rumah? Siapa orang yang selalu jadiin Alesha tempat dia buat pulang? Siapa orang yang pernah bilang kalau dia ngepens banget sama gue, ngepens lho yaa katanya bukan ngefans." Alvin terkekeh pelan mengingatnya.
"Dan gue, kenal banget sama itu semua. Gue kenal sama lo. Gue kenal siapa lo, Nat. Gue kenal. Lo tau gimana gue kan? Bahkan saat pertama kalinya, gue ngeliat lo setelah belasan tahun kita ngga pernah ketemu lagi, gue bisa ngenalin lo. Gue kenal mata khas cokelat tua lo, Nat, gue kenal itu.
"Gue bukan lagi bocah, gue udah cukup dewasa buat ngerti semua apa yang terjadi saat itu. Gue bukan lagi bocah umur empat tahun, kayak lo, yang bisanya cuman nangis nyalahin keadaan, tanpa bisa ngerti apa yang seharusnya lo mengerti."
Nata bingung harus membalas apa lagi. Alvin dengan segala ucapannya yang menjebak, mampu membuat Nata bungkam seribu bahasa. Tapi, senyum lega tercetak samar di bibir merah meronanya.
Alvin yang tidak fokus dengan apa yang ia mainkan sekarang, menjadikan kesempatan besar bagi Nata untuk membobolkan gawang lawan terbuka lebar.
"GOOLLLL!" satu teriakan, mengalihkan segalanya.
"Ehh, ngga, ngga, ngga bisa, itu curang! Gue kan lagi ngga fokus," bantah Alvin tak terima.
"Yee, Bang, ngga bisa gitu lah, kalah ya kalah,"
Klik.
Nata terpengarah saat Alvin mematikan layar televisi dengan santai. Dan Alvin yang berlalu begitu saja meninggalkannya.
"Bang, kok di matiin?"
"Tidur! Udah malem!" sahut Alvin dari balik pintu kamarnya.
"Bukan malem lagi, udah pagi! Kenapa ngga udahan aja dari tadi? Giliran gue udah mau menang, baru di matiin, kebiasaan kan. Ngga Adek, ngga Abangnga, sama aja, ngga pernah mau kalah!"
Sambil berjalan ke arah kamar tamu, Nata terus bersungut-sungut tak terima. Kadang Nata memang sangat mengidolakan sosok Alvin, tapi kalau sudah begini, Nata harus berpikir dua kali untuk benar-benar menjadikan Alvin sebagai panutannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA
Teen FictionIni bukanlah kisah tentang benci yang berubah jadi cinta, bukan juga kisah tentang seseorang yang diam-diam mencinta, ataupun kisah tentang persahabatan yang di dalamnya terdapat sebuah rasa. Ini adalah kisah tentang bagaimana cara menyembuhkan luka...