15. Cuma Demam kok Belum Mati

230 19 5
                                    

     Sekarang di sinilah Alesha, duduk di sofa merah maroon dalam apartemen mewah tempat tinggal Nata. Semua furniturenya terlihat mahal dan berkilau, menandakan pemiliknya merupakan orang yang benar-benar berada.

     Sampai-sampai Alesha takut barang sedikit saja ia menyenggol salah satunya, dan benda tersebut rusak, uang jajannya satu tahun pun pasti tidak akan sanggup menggantikannya.

     "Ehm," suara berat milik pria paruh baya berumur 35 tahun di hadapannya, menghentikan kegiatan Alesha memperhatikan seluruh isi apartemen Nata, juga fikiran-fikiran mengerikannya yang dianggap berlebihan.

     Alesha hanya membalasnya dengan senyum kikuk.

     "Jadi apa sebenernya alasan kamu seperti perampok tadi?" tanya pria itu kembali pada topiknya. "Oh iya, sebelumnya perkenalkan, saya Ronald, orang kepercayaan Papanya Nata, sejak Nata berumur satu tahun," jelas Ronald.

     Deg.

     Alesha merasa familiar, tapi menghiraukannya, ia segera membalas jabatan tangan Ronald. "Alesha, Om, temen sekolahnya Nata," balas Alesha tersenyum sopan.

     Pernyataan Alesha barusan, seketika membuat Ronald membeku.

     "Om?" panggil Alesha, heran melihat sikap Ronald yang mendadak diam.

     Tersadar Ronald langsung melepaskan jabatan tangannya, dan bertingkah gugup. Semakin membuat Alesha kebingungan.

     "Om kenapa?" tanya Alesha lagi.

     "Hah? Kenapa apanya?" Ronald justru bertanya balik, membuat Alesha semakin mengerutkan dahinya dalam-dalam. "Ah iya, sampe lupa. Jadi apa alasan kamu seperti tadi?" tanya Ronald mengalihkan pembicaraan.

     "Eumm tadi itu..." Alesha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nata udah beberapa hari ini ngga masuk sekolah, terus juga sama sekali ngga bisa di hubungin, saya bingung, Om, Nata itu sebenernya kenapa. Ngilang tiba-tiba tanpa jejak. Hpnya pun kadang aktif kadang ngga.

     "Akhirnya saya berfikir untuk nyamperin Nata langsung ke apartemennya, tapi entah udah berapa kali saya pencet bel, Nata ngga nyaut-nyaut juga. Saya ketok-ketok, ngga di bukain juga sama Natanya. Yaudah kesel-kesel saya gedor-gedor aja pintunya, tetep aja Nata bolot. Nyampe akhirnya gatau fikiran setan dari mana, saya niat mau ngedobrak pintunya aja. Padahal saya juga ngga bakalan kuat, eh sama Om malah dikira maling," jelas Alesha menggebu-gebu, membuat Ronald benar-benar tergelak olehnya.

     Alesha cemberut melihat reaksi yang diberikan Ronald. Serem-serem, receh ternyata. Pikirnya, dengan alis tertaut.

     Setelah tawanya reda, Ronald membenarkan posisinya. Berdehem pelan untuk menetralkan suaranya. "Bawel kamu masih sama kaya Nata ya, Ca," ucap Ronald tanpa sadar.

     Kali ini Alesha yang membeku. "Ca?"

     "Hah?" sadar akan kesalahan dari ucapannya tadi, Ronald bersikap pura-pura ikut kebingungan.

     "Tadi Om manggil saya Caca," jelas Alesha sedikit tegas. Entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa panas.

     "Maksudnya gimana sih, Al? Kapan Om manggil kamu Caca?" tanya Ronald pura-pura bingung.

     Alesha menaikkan sebelah alisnya heran. Mungkin perasaannya saja.

     Sesuatu yang ia rasa familiar tiba-tiba naik ke atas permukaan, membuat memori-memori menyakitkan itu perlahan terbuka. Tapi ia sama sekali tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba seperti ini di sini, di saat ia berkenalan dengan Ronald, orang kepercayaan Papanya Nata.

LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang