Chapter 19

5.5K 563 12
                                    

Kafe itu bukanlah kafe yang biasa didatangi oleh orang seperti Choi Minho. Suasana kafe itu muram, semuram para pekerjanya. Sejak pertama kali datang hingga sekarang, Minho sudah hampir mencoba semua menu yang ada di konternya. Semuanya tidak enak. Tehnya hambar, kopinya berminyak, kentang gorengnya terlalu berlemak. Sungguh tidak ada alasan bagi seorang Choi Minho, dengan mobilnya yang mentereng, pakaiannya yang berkelas, serta nama keluarganya yang terhormat, untuk duduk di meja terluar kafe tersebut setiap hari.

Sebenarnya selain Minho, pelanggan kafe tersebut cukup banyak. Karena kopi dan makanannya murah, kebanyakan para pegawai bank yang letaknya tak jauh dari situ selalu mampir di sana untuk membeli sarapan. Hanya saja sedikit sekali dari mereka yang betul-betul mampir dan duduk di sana.

Karena itulah Minho yang rajin datang ke sana setiap sore dan duduk manis di salah satu meja di pojok sampai malam betul-betul hal yang ganjil.

Meskipun demikian, sang pemilik kafe tak pernah repot-repot mempertanyakannya. Dari wajahnya Minho jelas tak ingin ada orang yang mengendus-endus urusannya. Ia juga tak pernah membuat masalah apapun di kafe tersebut, jadi si pemilik membiarkannya mengurusi urusannya sendiri.

Semuanya berawal pada suatu siang di musim semi setahun yang lalu. Siang itu, cuaca di seluruh kota Seoul luar biasa panas, padahal bulan Mei baru berjalan beberapa hari. Kegerahan pada hari itu rupanya menyelusup hingga ke dalam relung hati seorang pemuda yang nampaknya merasa hari itu akan berakhir sia-sia jika ia menghabiskan semenit lebih lama di dalam kelas bersama buku Geometri, Fisika, dan Bahasa Korea-nya.

Choi Minho bukanlah pemuda paling rajin di sekolahnya. Di SM School Academy, akademi khusus laki-laki tempatnya bersekolah sekarang, ia dikenal sebagai murid dengan rekor bolos tertinggi sepanjang sejarah. Dalam satu hari, adalah suatu keajaiban Tuhan apabila seorang Choi Minho bisa hadir di seluruh kelas-nya.

Ia memang bukan yang paling rajin, namun ia jelas sudah membuktikan bahwa ia adalah yang terpintar. Seandainya saja Minho bukanlah orang yang sama dengan pemuda jenius yang berkali-kali membawa SM School Academy ke berbagai perlombaan sains tingkat nasional, ia mungkin sudah dipulangkan ke orang tuanya sejak bertahun-tahun yang lalu.

Awalnya, sebelum masuk SM School Academy, Minho bersekolah di sekolah umum biasa. Tetapi, sekolah publik dengan penjagaan minim tersebut nampaknya membuat pemuda itu semakin malas menghadiri kelas-kelasnya. Akhirnya ia pun harus mengulang tahun pertamanya akibat catatan absensinya yang jelek.

Karena malu, kedua orang tua Minho akhirnya memindahkannya ke SM School Academy, sebuah asrama dengan tingkat penjagaan layaknya sebuah penjara. Tapi tetap saja, meskipun sudah dikelilingi tembok setinggi tiga meter disertai akses keluar masuk yang dijaga ketat oleh sekuriti selama dua puluh empat jam, Minho tetap bisa menemukan jalan untuk keluar.

Seperti hari itu.

Dia berhasil menyuap dua orang penjaga gerbang di depan yang dengan dua lembar uang sepuluh ribu serta sebungkus rokok. Begitu lolos, Minho yang tanpa tujuan berjalan-jalan di sepanjang trotoar sambil menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya sepanjang sisa hari itu.

Ia bisa saja mampir di kafe, toko buku, atau toko suvenir yang berjejer di sepanjang kawasan Myeongdong yang menjadi pusat Belanjaan tersebut. Banyaknya turis menyebabkan para pemilik kafe di daerah tersebut tidak begitu peduli bila ada pengunjung berseragam sekolah seperti dirinya. Padahal di daerah-daerah lain di kota yang sama, ada peraturan tersendiri yang melarang restoran atau kafe untuk melayani pelanggan berseragam pada jam sekolah.

Namun Minho menolak ide tersebut. Menghabiskan waktu di kafe atau restoran tidak ada bedanya dengan berada di dalam kelas dan melihat gurunya menuliskan segala macam tetek bengek tentang Hukum Tesla.

LAWLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang