Pilihan Hati

139 15 8
                                    

Judul : Pilihan Hati
Genre : Romance
Penulis : Hilda

Satu tahun sudah aku bernafas tanpa ada bayangannya. Lihatlah! Awan itu masih tetap bergerak, meski tak ada dia di sampingku. Sudah satu tahun juga, aku tak mendengar tawanya di sela-sela percakapanku. Dan, lihatlah! Aku masih bisa tertawa begitu santainya. Sudah satu tahun pula, aku tak membayangkan cita-cita di masa lalu untuk hidup bersamanya. Ini ucapan mulutku, bukan hatiku.

25 Januari 2016.

Benar ternyata. Sudah satu tahun. Aku tahu bagian mana yang masih berbekas dalam hidupku. Bukan bagian dimana aku tak merubah sikapku demi bertahan dalam hubungan ini. Tapi, yang masih berbekas dan menghasilkan luka yang menganga ini, adalah saat rasa cinta ini masih ada, meski suarannya tak pernah terdengar lagi. Yah! Inilah suara hatiku yang sebenarnya.

Kini, ingatanku berputar pada tempat yang kupijak sekarang. Trotoar di samping taman kota, dimana dia meninggalkanku setahun lalu.

"Mungkin, aku sudah tak tahan dengan semua ini." Suara tegas Fiko yang menatapku sendu.

"Fiko, kita sudah bicara baik-baik. Masalah kita sudah selesai!"

"Afa, kita harus berhenti! Aku nggak mau lihat kamu bertahan, di saat aku nggak mau bertahan lagi!" Fiko menatap mataku sembari menghela napas berat.

"Fik, maksud kamu apa? Aku minta maaf! Kita memang banyak masalah akhir-akhir ini. Tapi, kenapa harus berhenti?" tanyaku berusaha menyangkal sorot mata Fiko yang mengatakan maksud sebenarnya.

"Kita berhenti saja! Kita sudah tak bisa berusaha lebih jauh lagi. Harusnya, kita lebih mengutamakan pendidikan kita, bagaimana kita menata masa depan masing-masing. Kau tahu hubungan kita sedari awal sudah rusak akan rasa jenuh. Jadi, lebih baik kita hentikan usaha ini."

Rasanya, Fiko sudah menancapkan hatiku dengan pedang yang begitu tajam. Seharusnya, jika Fiko tidak ingin melanjutkan hubungan ini, Fiko tak harus jauh-jauh datang ke tempatku.

"Baiklah, kita putus saja! Toh, tak ada gunanya juga." Aku menatap mata Fiko, memastikan bahwa aku sesadar-sadarnya mengucapkan kalimat itu.

Fiko melangkah mendekatiku. Kini, Fiko kembali menghela nafas panjang. Ingin rasanya aku bertanya, sebegitu menderitakah Fiko bersamaku selama dua tahun ini?

"Sebelum aku benar-benar pergi, bisakah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" pinta Fiko yang makin bergerak maju ke arahku.

"Aku tak bisa! Aku tak bisa membiarkan orang yang menyakitiku, memelukku."

Fiko mundur dan tersenyum sedih. Ketiga kalinya Fiko mengambil napas berat.

"Afa, jaga kesehatan!"

Itulah kalimat terakhir Fiko, sesaat sebelum meninggalkanku satu tahun lalu. Sekarang, aku sadar bahwa mempertahankan itu lebih sulit dari yang kubayangkan.

Terkadang, aku kembali menghela napas, sama persis seperti yang Fiko lakukan. Aku tak tahu kalau kebiasaan bisa menular begitu cepat. Namun, rasanya hidupku sama sekali tak banyak berubah.

"Afa, kamu memikirkan apa?" tanya Imad menatapku khawatir. Bahkan, saat sekarang aku tengah dekat dengan Imad pun, aku masih tak bisa melupakan Fiko.

"Wajah cantik ini nampaknya sedih. Kamu kenapa, Afa?" Imad selalu saja ada di sampingku, bahkan meski sampai sekarang aku tak bisa memberikan kejelasan. Namun, Imad selalu ada.

"Aku hanya kepikiran sesuatu," jawabku pelan, sedangkan Imad mengernyitkan kening. Namun, aku tak banyak bicara. Aku memilih diam.

"Kamu ingat mantan kamu itu?" tanya Imad to the point.

"Maafin aku ...."

"Aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Aku sadar akan semua kebaikan kamu, tapi ...,"

"Tak masalah! Aku tahu betul rasanya mencintai orang yang kita cintai, namun orang itu belum tentu mencintai kita." Imad memotong ucapanku dan rasanya aku semakin bersalah dibuatnya.

"Imad. Kamu ...?" Aku kaget dengan ucapan Imad, apa jangan-jangan ...

"Yah, aku sadar kehadiranku memang belum cukup bisa menghapus luka di hatimu. Tapi, aku sudah berusaha, dan aku pikir tak ada baiknya jika aku harus memaksa. Mungkin, dengan berhenti sebentar, tak masalah."

Tunggu! Apa yang barusan Imad katakan, berhenti? Apa Imad juga menyerah dengan perasaannya? Apa aku yang salah, karena aku selalu memikirkan Fiko tiap kali bersama Imad? Rasanya, aku selalu menorehkan banyak luka pada orang yang menyayangiku. Hingga akhirnya, mereka semua pergi.

"Aku bukan Fiko yang akan meninggalkan kamu begitu saja. Aku juga bukan Fiko yang akan meninggalkan banyak luka. Aku hanya Imad. Anggap saja aku tiang yang akan kamu butuhkan saat kamu memang ingin bersandar. Aku tak tahu kapan kamu akan datang dan pergi. Namun, aku hanya akan berhenti di satu titik dan akan selalu di situ. Jika kamu butuh aku, datanglah!"

Belum sempat aku membalas ucapan Imad, dengan sangat perlahan, Imad pergi. Namun bedanya, Imad tetap tersenyum, lalu pergi secara perlahan entah kemana. Tinggal aku di sini yang masih saja terjebak nostalgia bersama Fiko.

Seminggu kemudian, Imad benar-benar menghilang. Tak ada kabar atau apa pun. Seakan aku benar-benar kehilangan dia.

"Afa ...," Aku berharap itu adalah Imad. Namun, mataku tak hentinya bergerak melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahku.

"Fiko?" Rasanya, aku tak salah lihat. Benar saja, dia adalah Fiko, mantan kekasihku.

"Aku pikir kamu masih mengingatku. Namun rasanya, bukan aku yang benar-benar kamu harapkan." Ucapan Fiko menyadarkanku satu hal. Sekarang, bukan Fiko yang benar-benar kuinginkan.

Entah kenapa, apa yang kurasakan dengan Fiko sangat berbeda. Getaran perasaan itu menghilang. Yang terngiang sekarang, hanyalah ucapan Imad waktu itu.

Tanpa menunggu lama, aku bergegas pergi meninggalkan Fiko yang masih berusaha mencegahku. Namun, dengan satu sentakan keras, aku menepisnya. Aku pun langsung menaiki mobilku.

Aku akhirnya sampai di rumah Imad. Aku menekan begitu keras. Hingga akhirnya, pintu terbuka. Mataku memanas seketika, saat melihat Imad yang menatapku kaget. Aku langsung menghamburkan diri ke dalam pelukannya.

"Aku memang jahat! Aku selalu membuat kamu menunggu. Aku selalu membanding-bandingkan kamu. Aku bahkan masih mengingat Fiko. Tapi aku sadar, aku akan lebih kehilangan jika bukan kamu orangnya. Aku sadar perasaanku lebih besar terhadap siapa sekarang, dan itu kamu!"

Tangisanku pecah seketika. Namun yang kurasakan hanya usapan pelan di punggungku. Imad tersenyum tenang. Lalu, dengan lembut Imad menyeka air mataku.

"Jangan bersedih lagi. Aku tak akan sepertinya. Aku akan selalu ada." Entah kenapa air mataku malah semakin deras, sehingga Imad pun kembali mengusap air mata itu.

"Aku sejujurnya tak tahan dengan kesedihanmu. Namun, jika memang kamu masih tak percaya, aku ingin kamu memakai ini ...."

Imad mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah liontin yang cantik, dengan bandul cincin yang indah.

"Seminggu yang lalu, aku ingin melamarmu. Karena aku pikir, jika di sampingmu selamanya, aku pasti bisa menghapus kesedihanmu itu."

Tak ada yang bisa kulakukan, selain kembali memeluk Imad dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan sedari awal mengenal Imad.

"Aku mau Imad! Aku mau bersamamu selamanya!"

"Terima kasih telah datang kepadaku! Akan kuhapus segala luka. Dan tetaplah bersamaku, Afa."

Ketika hidup adalah pilihan. Maka, cinta juga adalah sebuah pilihan.

*

Flash Fiction Collection [Event 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang