Chapter 2

2.9K 328 4
                                    

Dahulu aku selalu bermimpi, mimpi yang selalu kuharapkan tidak pernah menjadi kenyataan. Namun pada suatu hari mimpiku menjadi kenyataan. Ibuku meninggal. Ibuku meninggal karena kanker yang dideritanya, kami terlalu lambat mengetahuinya, ketika diketahui, ibu sudah stadium akhir. Hal ini benar-benar memberikan kesedihan mendalam bagiku dan ayah. Sejak ibu pergi, aku dan ayah jarang berbicara. Aku baru sadar bahwa selama ini orang yang selalu mencairkan suasana adalah ibuku, dan ibuku lah yang selalu memulai topik pembicaraan.

Lalu terjadi hal yang sangat tak terduga. Ayahku menikah lagi dua bulan setelah ibu meninggal. Aku merasa sangat kecewa ia tidak menanyakan pendapatku. Apakah secepat itu ia melupakan ibu? Apakah ibu sangat mudah dilupakan? Ibu yang selalu menjagaku dan ayah. Ayah mengajak untuk tinggal bersama istri barunya, tapi aku tak bisa. Istri baru ayah baik dan ramah, tapi tetap asing bagiku.

"Aku butuh penyesuaian Ayah. Gomen ne..."

Ayah hanya mengangguk. Aku tahu sebenarnya ayah sedih karena ia memulai pembicaraan ini dengan begitu berapi-api. Tak banyak yang kuinginkan dari ayahku. Tapi ada satu hal yang kuinginkan.

"Apa itu, Akina?"

"Aku ingin ayah dan Morae-san tidak tinggal di rumah ini." Ayah membesarkan matanya. "Kumohon, biarkan apa yang dulunya milik ibu biarkan saja menjadi milik ibu."

Ayah hanya terdiam. Ia tidak berkata-kata. Ayah hanya menundukkan wajahnya sambil menatap tatami. Kami berdiam cukup lama sampai ayah menghela nafas dalam. "Baiklah, jika memang itu keinginan putriku satu-satunya ini." Ayah menatapku sambil tersenyum. Aku bisa melihat di balik kaca matanya ada sedikit air mata.

"Aku tidak akan melupakan Ayah."

"Untuk apa kau berkata begitu, kita tidak akan pernah berpisah. Kau akan selalu menjadi putri kesayangan ayah. Lagipula kau bisa ke rumah sakit untuk menemui ayah."

"Mm-hmm." Sejak saat itu aku tinggal sendirian di rumah yang besar bergaya jepang. Rumah besar, halaman besar, tapi dalamnya selalu sunyi. Kalau aku kesepian, aku akan menyalakan tv dengan suara kencang meski aku tidak menontonnya. Ayah juga selalu mengirimkan uang bulanan, tapi jarang kupakai. Aku memutuskan untuk kerja sambilan untuk menghasilkan uang sendiri.

Aku sering kali merenung di sebuah café bernama Anteiku. Café itu tenang dan memiliki aura yang membuatku merasa nyaman. Aku seringkali menghabiskan waktu di tempat itu sampai akhirnya aku melamar pekerjaan. Aku dikenalkan kepada banyak orang. Ada tenchou, aura kakek sangat khas selalu keluar dari diri tenchou. Koma-san, ia seperti seorang pelawak. Irimi-san layaknya ibu, mengingatkanku pada ibuku sendiri. Nishiki-san, dia baik namun agak kasar, memang khas anak laki-laki jaman sekarang. Hinami-chan, dia sangat manis, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Touka-chan, dia sangat perhatian sebenarnya dan selalu mempunyai bahasa kasar baru. Orang-orang di Anteiku sangat beragam, kalau berkumpul bersama mereka, suaranya bisa lebih keras dari suara tv bervolume penuh.

Sepulang sekolah aku langsung merapikan buku-bukuku. Karena hari ini bukan hari Kamis, aku tidak ada kegiatan klub memanah. Teman sekelasku, Kokoro dan Mika , selalu menemaniku sampai aku ke tempat kerja sambilanku. Mereka seperti dua ibu-ibu yang harus memastikan apakah anaknya benar-benar bekerja atau hanya kelayapan di sore hari.

"Sampai bertemu esok, Akina."

"Hai', ja ne!"

Ketika aku masuk ke dalam Anteiku. Hanya ada Nishiki-san dan Irimi-san yang berjaga. Lalu salah satu pelanggan setia Anteiku, ia berambut orange, dan selalu menunjukkan senyuman terbesarnya. Setahuku ia bernama Hideyoshi Nagachika atau lebih sering dipanggil Hide. Hide-san kenalan dari Nishiki-san.

White Apple (Kaneki x Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang