1 Tujuh Tahun

4.1K 264 7
                                    

Alen melihat layangan Alan yang terbang tinggi hampir menyentuh awan. Setidaknya begitulah isi pemikiran anak yang berumur tujuh tahun itu, dia juga ingin layangannya terbang tinggi seperti itu, tidak rendah seperti sekarang.

"Alan, layangan Alen kok nggak tinggi-tinggi, ya terbangnya?"

"Alen mau layangannya terbang tinggi kayak punya aku?"

"Iya," balas Alen sambil mengangguk.

"Tunggu bentar, ya?" ucap Alan sambil menyerahkan botol gulungan benang pada Alen. "Nih, pegangin punya Alan. Alan mau cari pecahan bata dulu," ucapnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

Setelah mendapatkan apa yang dicarinya Alan berlari kecil menemui Alen yang tengah menunggunya dengan wajah yang tidak sabaran.

"Cepetan Alan buat layangan Alen terbang," serunya sambil menyemangati saudaranya itu. Alan hanya megangguk dari kejauhan merasa senang diberi semangat oleh Alen.

"Layangan Alan mana?"

"Nih," ucap Alen sambil menyerahkan gulungan benang layangan pada Alan.

"Nggak usah, pegangin aja dulu. Botol gulungan benang punya kamu letakin di bawah."

Alen hanya menuruti perintah Alan, dia meletakkan botol gulungan benang layangannya di bawah dan membiarkan Alan menggesekkan pecahan bata pada benang layangannya. Tidak ada rasa curiga pada diri Alen yang dia inginkan hanya melihat layangannya terbang tinggi.

"Cepetan Alan," desaknya sambil terus-terusan menarik lengan baju saudaranya itu.

"Iya, ini Alan lagi usaha," ucapnya sambil terus menggesekkan pecahan bata itu pada benang hingga benang itu tipis dan akhirnya terputus. Layangan Alen terbang tinggi dibawa angin, tapi dia malah bersorak riang karna layangannya terbang tinggi.

"Yeee, layangan Alen terbang tinggi!" teriaknya sambil mengangkat tangan kirinya dan melompat-lompat kegirangan. Hal yang tidak disadari Alen adalah layangannya tidak akan kembali lagi.

Alen terus mengamati layangannya itu dengan senyum yang terukir di bibirnya, tapi senyuman itu makin lama makin hilang karna layangannya yang makin lama makin tinggi dan tak terlihat lagi wujudnya.

"Alan, layangan Alen kok ilang, ya? Nggak kayak layangan Alan masih keliatan," ucapnya yang memang tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Sedangkan Alan pura-pura tidak mengerti seperti Alen, padahal Alen tidak tahu kalau layangannya sengaja diputus oleh saudaranya sendiri. Bentuk kejahilan Alan yang sudah kelewatan.

"Alan, layangan Alen hilang!" teriak laki-laki itu yang sudah hampir menangis. Layang-layang itu adalah layangan buatan ayahnya.

"Jangan nangis Alen, Alen itu cowok," ucap Alan mencoba menenagkan saudaranya itu, tapi Alen tak bisa kalau tidak menangis. Terbayang olehnya kalau dia tidak bisa bermain layangan lagi dengan Alan.

"Iya, Alan. Alen tau, tapi layangan Alen hilang!" isaknya yang makin lama makin kuat.

"Kita pulang aja deh," ucap Alan sambil menarik pergelangan tangan saudaranya itu, dia tidak ingin tangisan Alen semakin kencang.

Bunda sudah menyambut kedatangan mereka berdua di teras rumah, tapi bunda merasa ada yang tidak beres, salah satu anaknya menangis sesegukan.

"Lho, Alen kok nangis? Kalian bertengkar?"

Cepat-cepat Alen menggeleng, dia mengusap jejak air mata yang ada di pipinya walaupun dia sesegukan juga.

"Bukan bunda, layangan Alen hilang," ucapnya yang kembali tersedu.

"Kok bisa?" tanya bunda menatap curiga pada Alan, sedangkan Alan pura-pura tidak melihat tatapan itu dan merasa tidak terjadi apa-apa.

"layangan Alen bukan hilang bunda, tapi putus," ucapnya yang tentu saja berbohong.

"Layangannya nggak akan putus kalo nggak di apa-apain," ucap bunda yang kini sudah menjewer telinga Alan dengan tidak begitu kuat. Bunda melakukan itu hanya untuk membuat anaknya itu jera.

"Sakit bunda, kuping Alan sakit," ucapnya meronta-ronta minta dilepaskan.

"Bunda, lepasin Alan, dia nggak salah kok. Layangan Alen ilang bukan putus," ucap Alen sambil menatap kasihan pada Alan, dia tidak tega melihat saudaranya kesakitan seperti itu karna dia dapat merasakan bagaimana rasa sakitnya. Tidak tega juga melihat anaknys meringis kesakitan. Bunda akhirnya melepaskan jewerannya dan membungkuk menatap wajah Alan dengan penuh senyuman.

"Lain kali jangan bandel, ya?" ucap bunda sambil menyentuh ujung hidung Alan dengan jari telunjuknya, dan Alan mengangguk mengerti.

"Nggak akan Alan ulangi lagi," ucapnya yang segera ikut masuk menyusul Alen yang masih sesegukan.

Alan Dan Alen (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang