10 Alan [Rencana A]

1.2K 70 0
                                    


Alan memperhatikan Day yang menunggu angkutan umum yang dari tadi belum juga datang, dia berinisiatif menjalankan rencana pertamanya hari ini juga. Lagian Alen juga belum menunjukkan rencananya, dan Alan berfikir mungkin ini kesempatan yang bagus, dia menggerakkan motornya perlahan ke arah Day yang tampaknya sudah lelah menunggu.

"Hai," sapa Alan sekedar basa basi belaka. Karna, dia tidak mungkin main datang-datang saja dan mengajak pulang bersama.

"Hai, Alan, 'kan?" tanya Day sambil menunjukkan senyum manisnya, dan itu membuat Alan ingin cepat-cepat membuat Day jadi miliknya.

"Eh, iya gue Alan. Kok lo bisa tau?" tanya Alan karna dia menganggap dirnya tak sepopuler Gibran yang adalah salah satu siswa paling nakal di seantero sekolahnya. Saking bandelnya anak itu sempat ingin dikeluarkan dari sekolah karna saking kurang ajarnya sama guru. Tidak memiliki sopan santun sama sekali.

"Aqsal yang cerita," ucap Day yang lagi-lagi tersenyum.

Alan menepuk dahinya sendiri, dan Day hanya menatapnya heran karena ulah konyolnya itu. bagaimana dia bisa lupa kalau Day itu adalah sepupu sahabatnya sendiri.

"Oh gitu. Eh, lo nunggu jemputan, ya?" tanya Alan yang mulai menjalankan rencanya.

"Enggak, gue nunggu angkot. Lo sendiri nungguin siapa? Saudara kembar lo, ya?"

"Saudara gue? Maksud lo, Alen?" tanya Alan dengan kening yang berkerut.

"Ya iyalah. Masa saudara lo si Alden, sih," ucap Day yang kini sudah tertawa merasa Alan itu sangat lucu.

Alan hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal merasa konyol sendiri di depan gadis yang dia sukai.

"Kayaknya udah nggak ada angkot deh. Lo pulang bareng gue aja, gimana?" tanya Alan berharap Day mau menerima tawarannya karna ini kesempatan baik baginya.

"Hmm, boleh deh. Nggak ngerepotin, 'kan?"

"Sama sekali enggak, sumpah," ucap Alan sambil menyerahkan helm pada Day, dan dengan senang hati gadis itu menerimanya.

"Iya-iya gue percaya. Terus, saudara lo gimana?"

"Oh, dia? Biasa, pulang bareng bunda," ucap Alan yang sudah mulai menjalankan motornya.

"Lo pulang sekolah emang biasa naik angkot, ya?"

"Enggak juga, sih kebetulan aja tadi. Mama gue nggak bisa jemput hari ini."

Alan menghentikan motornya di warteg yang tdak jauh dari sekolah. Tempat dia dan teman-teman-temannya biasa kumpul habis latihan futsal.

"Kita makan dulu aja gimana? Lo nggak masalah, 'kan makan di warteg kayak gini? Maklum, gue bukan anak gaul jadi, nggak tau tempat hits anak-anak remaja nongkrong," ucap Alan sambil turun dari motornya sambil sesekali menatap Day takut cewek itu tidak suka, tapi apa yang dia fikirkan tidak sepenuhnya benar.

"Santai aja kali, gue juga biasa makan di sini bareng yang lain," ucap Day yang langsung mengambil tempat duduk favoritnya.

Alan menghempaskan tubuhnya di atas kasur sambil mengingat kejadian tadi siang. Bagaimana Day dengan lahapnya menyantap makanan dan menikmati hari-harinya bersama Day. Menurut Alan Day itu orang yang asyik dan mudah bergaul dengan orang lain. Wajar saja banyak yang mengenal gadis itu, tapi anehnya kenapa dia juga tahu tentang Alen? Yang bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kelas. Bahkan mungkin hanya segelintir orang yang mengenal Alen karna tidak semuanya tahu kalau Alen adalah saudara kembarnya selain teman-temannya dan Day tentunya.

Terdengar sayup-sayup bunyi petikan gitar dari balkon kamar, dan Alan dapat memastikan kalau itu adalah suara petikan gitar Alen karna hanya dia yang bisa memainkan gitar dengan suara sebagus itu. Sedangkan Alan hanya bisa bermain seruling itupun sudah lama sekali sewaktu kelas dua SMP di mana guru keseniannya menyuruh membawakan satu lagu wajib dengan seruling, tapi Alen berbeda. Saudaranya itu bukan hanya bisa memainkan gitar ataupun seruling, tapi Alen juga bisa memainkan piano dan biola. Dari sekian banyak alat musik yang bisa dimainkan Alen. Cowok itu lebih senang memainkan gitar. Bahkan, saudaranya itu memiliki gitar kesayangan hadiah dari kakek mereka di saat ulang tahun Alen yang ke tiga belas tahun, dan gitar itu masih dijaga dengan baik oleh Alen. Karna hanya itu barang kenangan kakek yang masih tersisa.

"Kenapa nggak ikut band di sekolah aja, sih, Len? Lo itu punya bakat, dan nggak seharusnya bakat itu lo pendem," ucap Alan yang sudah berdiri di samping Alen sambil memperhatikan kembarannya itu bermain gitar.

"Lo, 'kan tau sendiri kalo gue itu nggak suka ada di keramaian apalagi denger sorakan orang-orang," balas Alen sambil memetik gitarnya dengan nada yang dikenal oleh Alan. itu lagu kesukaan mereka berdua.

Alan Dan Alen (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang