Epilog (End)

2.7K 100 26
                                    

Alan berlari ke luar rumah begitu bunda marah padanya, dia baru saja merusak mainan Alen, hadiah yang baru dibelikan papa tadi siang, dan sekarang mobil-mobilan itu hancur tak berbentuk lagi, Alan dengan sengaja membatingnya ke lantai karena beranggapan papanya lebih sayang Alen daripada dirinya. Alan kesal apapun yang diminta Alen selalu dikabulkan, tapi ketika dia yang minta tidak langsung dibelikan. Makanya Alan membanting mobil-mobilan Alen.

"Alan, jangan lari ke luar, di luar hujan. Nanti kamu sakit!" teriak bunda yang berusaha mengejar Alan, dia tidak ingin putranya itu sakit, karna kalau Alan sudah sakit dia akan sulit untuk sembuh.

"Bunda, biar Alen yang ngejar Alan," ucap Alen sambil membentangkan payung kuning bergambar spongebob. Cukuplah untuk anak yang baru berusia sembilan tahun.

Alen terus berjalan menyusuri hujan yang semakin hari semakin deras, sedangkan Alan tak kunjung dia temui, dia khawatir terjadi sesuatu pada saudaranya itu. Diculik monster misalnya.

"Alan, ayo pulang," ucap Alen berjalan mendekati Alan yang terduduk di bawah pohon cemara dekat setapak rumahnya.

Alan memandang Alen kesal, dia berjalan mendekati saudaranya itu dan mendorongnya hingga terjatuh ke tanah yang sudah digenangi oleh air.

"Alan nggak mau pulang! Alen pulang aja sendiri!" teriak Alan yang kembali berlari entah ke mana.

"Alan, jangan lari!" teriak Alen yang mulai bangkit dari duduknya, dan mengejar Alan yang sudah berlari menjauh.

Alan terduduk di jalanan setapak sambil memeluk dirinya yang kedinginan. Perutnya juga sakit.

"Alan," panggil Alen pelan, dia berjalan mendekati Alan dan duduk di sampingnya. Tak lupa pula Alen memayungi saudaranya itu. di jalanan setapak kecil yang sepi hanya ada mereka berdua.

"Ayo pulang," ucap Alen lagi.

Alan memadang saudaranya dengan lekat, bibirnya bergetar karna kedinginan, dan perutnya semakin terasa sakit.

"Alan dingin, Alen," lirihnya pelan sambil memeluk dirinya sendiri.

Alen yang melihat saudaranya kedinginan meletakkan payung itu begitu saja, dan duduk mendekati Alan, dia memeluk saudaranya. Kehangatan Alen membuat rasa dingin Alan berkurang.

"Alen nggak marah Alan rusakin mainan Alen, tapi jangan diulangi lagi, ya? Kalo Alan mau minjem pasti Alen minjemin kok," ucap Alen semakin erat memeluk saudaranya.

"Tapi bunda benci Alan, dia marahin Alan, Alan sedih, Alen," ucap Alan terbata-bata.

"Bunda nggak benci Alan. papa juga nggak benci Alan, semuanya sayang Alan," ucap Alen sambil tersenyum meskipun senyumannya tak terlihat oleh saudaranya.

"Sekarang kita pulang, ya," ucap Alen sambil mengambil payung, dan memayungi dirinya dan Alan.

***

Alan sibuk mengusap air matanya, dia teringat tentang kenangannya dan Alen sewaktu kecil, kalau diingat-ingat Alen tak pernah benci padanya, dan Alen tak pernah jahat padanya. Alen selalu menyanyanginya, dan melindunginya. Pelukan Alen pun sangat hangat. Kalau diingat-ingat Alen tak pernah memiliki rasa iri padanya.

"Gue jahat, Dan, Alen itu baik banget sama gue, tapi gue? Gue nggak pernah baik sama dia, gue selalu aja iri sama dia, gue selalu berpikir kalo Alen itu anak kesayangan papa sama bunda," isak Alan sambil menunduk, sedangkan di dalam sana Alen sedang memperjangkan hidup dan matinya. Entah dia akan bangun atau tidak.

"Gue pengin Alan bangun, Dan, dia balik lagi sama kita. Gue bego banget, sih Dan jadi saudaranya dia, yang gue lakuin selalu nyakitin dia, gue benci diri gue sendiri," ucap Alan yang tangisnya semakin menjadi-jadi dia selalu saja dipenuhi rasa iri dan dengki terhadap saudaranya sendiri.

"Nggak ada yang salah, Lan, ini semua tkdir Tuhan, kita sebagai manusia bisa apa? Kita cuma bisa doa, Lan. Dalam sekejap mata Tuhan bisa menghancurkn dunia ini tanpa hitungan detik sekalipun. Jadi, stop salahin diri lo sendiri," ucap Dandra sambil mengusap bahu Alan pelan. Biar bagaimaapun dia benci melihat Alan seperti ini, karna melihat Alan terluka sama seperti melihat Alen yang kesakitan.

***

"Alan, kalo besar nanti kita pergi ke sini yuk, kata bunda tempat ini bagus banget, dan cuma orang pintar yang bisa ke sana," ucap Alen sambil menunjuk sebuah gambar perkotaan yang tampak indah.

"Kita ke sana berdua aja? Bunda sama papa nggak diajak?" tanya Alan mengernyitkan dahinya bertanya.

"Alen cuma pengin kita pergi berdua aja, Alen mau sama Alan terus, soalnya sama Alan buat Alen senang, Alan jangan pergi ninggalin Alen, ya? Apapun yang terjadi?" tanya Alan sambil mengangkat jari kelingkingnya ke udara, dan Alan tersenyum membalas ucapan Alen.

"Alan janji, Alen juga, ya," ucap Alan sambil mengangkat jari kelingkingnya.

"Iya, Alen janji."

***

"Lo harus bangun, Len lo udah janji sama gue, dan gue tau lo bukan orang yang suka ngingkari janji. Kita juga belum ke Eropa," lirih Alan pelan, dia terus mengusap air mata yang tak ingin berhenti, dia benci melihat Alen seperti itu.

***

"Alan tau nggak? Kata bunda kita cuma beda lima menit aja pas lahir, saat itu kata bunda Alan nggak bernapas, dan Alen nangis kencaaang banget, bunda jadi susah nenangin Alen, kata bunda Alen itu nggak mau kehilangan Alan. Alen takut kalo Alen bener-bener nggak napas lagi, yang Alen tau kalo orang nggak napas berarti dia udah ketemu sama Tuhan, tapi syukurlah atas bantuan suster dan dokter Alan bisa napas lagi, dan saat itu Alen berhenti nangis. Mungkin Alen tau kali, ya kalo Alan nggak jadi ketemu sama Tuhan."

"Alan, maaf ya Alen nggak bisa nepatin janji Alen sama Alan, Alan yang baik-baik di sini, ya? Jagain bunda sama papa, Alan jangan ngebentak bunda lagi, ya? Karna terakhir kali Alan ngebentak bunda, bunda sedih, Alen nggak mau bunda sedih. Jadi, Alen titip bunda, ya? Selamat tinggal Alan."

"Alen!" teriak Alan terbangun dari tidurnya, dia keget begitu melihat dirinya diinfus, padahal dia merasa baik-baik saja tadi, dia buru-buru mencopot selang infusnya, dan berlari ke kamar Alen, tapi tidak ada siapa-siapa di sana hanya sepi, dan Alan hanya bisa terduduk di depan kamar rawat Alen tanpa tahu harus melakukan apa. Alen sudah meninggal.

"Alan, astaga kamu nggak papa? Kami cariin kamu," ucap bunda yang tergopoh-gopoh mengejar Alan, dan membantu anaknya itu untuk berdiri.

"Bunda, Alen gimana?" tanyanya menatap bunda lekat. Bunda hanya tersenyum dan membantu Alan untuk berjalan.

Alan memasuki ruang kamarnya, dan dia kaget begitu tirai pembatas itu dibuka, di sana berbaring Alen yang tengah menatap padanya sambil tersenyum.

"Hai Alan, apa kabar?"

Tamat
23 Juli 2017

¤¤¤

Endingnya kayak gitu nggak papa, ya? Menurutku, sih itu endingnya udah bagus. Ini entah epilog yang ke berapa yang aku buat wkwk.

Tadinya, sih aku mau buat Alan menyesal, tapi malah ceritanya kayak gitu. Rencananya pengin buat yang sedih-sedih, tapi emang dasarnya aku nggak berbakat buat cerit sedih.

Makasih buat yang udah baca ceritanya, buat yang numpang lewat aja, sama yg numpang baca aja, apalagi yang bener-bener vote sama komen ceritanya wkwk. Apapun  itu aku makasih banget sama kalian.

Btw ini part yang paling panjang dari part-part yang lain. Udahan ya, aku pamit dulu.

Alan Dan Alen (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang