25 Alan & Alen

937 61 3
                                    

Bunda tidak tahu apa yang terjadi dengan kedua putra tersayangnya, semenjak hari itu. Semenjak mereka pergi keluar bersama, mereka bersikap seperti ini. Bunda dapat menangkap ada kecanggungan di antara keduanya. Padahal bunda berharap kedua putranya tidak seperti ini, walaupun Alan jarang berbicara dengan Alen semenjak dia mengenal dengan yang namanya teman, dia pasti berbicara dengan Alen setidaknya beberapa kalimat, tapi jangankan berbicara, menghabiskan waktu bersama saja Alan tampak enggan.

Perlahan bunda mengingat saat pertama kali kedua putranya hadir ke bumi. Saat itu bunda merasa sangat senang karena dia mendapatkan anak kembar. Sesuatu yang sudah lama dia inginkan. Bunda merawat putranya dengan penuh kasih sayang, begitupun dengan papa yang rela keluar dari kantor hanya untuk kerja di kafe yang sudah dibangun bunda sejak lama. Papa melakukan itu hanya untuk membantu bunda mengurus kedua anak kembarnya yang notabene adalah laki-laki. Papa mengerti bunda pasti repot mengurus kedua anaknya itu sendiri.

Melihat kedua putranya yang seperti ini bunda merasa sedih sekaligus kecewa. Kedua anaknya tidak pernah berbagi dengan dirinya, mereka menyimpan masalahnya sendiri.

"Kalian kenapa? Kalo ada masalah cerita sama bunda," ucap bunda dengan lembut. Sebagai seorang ibu dia harus memahmi anaknya.

"Nggak apa-apa kok bunda," balas Alan melanjutkan makannya, sedangkan Alen hanya diam saja.

"Serius? Kalian nggak lagi berantem, 'kan? Kok diem-dieman?" tanya bunda curiga. Seorang ibu jelas mengetahui kalau anaknya berbohong.

"Kita baik-baik aja, kok bunda. Serius! Iya, 'kan Lan?" tanya Alen sambil menyikut tangan Alan yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, dan alhasil makanan itu tumpah.

Alen meringis melihat kelakuannya. Setelah ini Alan pasti marah padanya, karena cowok itu paling tidak suka diganggu saat makan.

"Maaf," ucap Alen.

Alan menatap saudaranya itu sebentar lalu sebuah senyum tersungging di bibirnya. Senyum yang sangat amat dipaksakan, dan bunda dapat melihat akan hal itu.

"Iya, bunda, kami nggak lagi berantem kok," ucap Alan sambil mengelus-ngelus kepala Alen.

Bunda hanya mengangguk berpura-pura percaya. Mungkin putranya belum mau berbagi masalah dengan dirinya, dan bunda akan menunggu kapan kedua anaknya akan terbuka padanya.

***

Alen duduk bersandar di balkon kamarnya dengan gitar yang dipangkunya. Saat libur seperti ini Alen memang biasa melakukannya. Bahkan kadang dia mengeluarkan suaranya. Berbeda dengan Alan yang lebih memilih pergi keluar bersama teman-temannya, kalau bukan dengan teman-temannya, dia akan ke rumah Alden untuk bermain ps, kalau tidak mengusili adik Alden yang paling kecil.

"Alen," panggil Alan yang sudah tiba-tiba berada di depannya, cowok itu memegang ponsel di tangannya, dan Alen dapat melihat earphone yang tergantung di telinganya.

Hari ini Alan tidak ke mana-mana, dia hanya di rumah sambil mendengarkan lagu karna itu adalah hobinya.

"Ya," balas Alen sambil menatapp saudara kembarnya itu.

Alan beranjak dari tempatnya, dan melangkah mendekati Alen, dia ingin Alen memainkan gitar dan bernyanyi bersama. Alan hanya ingin melakukannya karna dia bosan berdiam diri di kamar sambil mendengar lagu.

"Gue pengin lo mainin gitar, kita nyanyiin lagu yang ini," ucap Alan sambil memperlihatkan ponselnya. Alen mengangguk mengerti.

Alen mulai memetik gitarnya, dan membiarkan Alan mengeluarkan suaranya. Setidaknya, Alan mau bersama dengannya saat ini, dia tidak ingin kehilangan ataupun dibenci oleh saudaranya sendiri. Bukankah, dibenci saudara sendiri itu menyakitkan? Seolah kehadiranmu tidak diinginkan olehnya.

ceritanya emang membosankan, sih karna nggak tamat-tamat. Lama-lama aku juga bosan ngelanjutin ceritanya wkwk

Alan Dan Alen (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang