[ Part 6 - Mikeh ~ Rasa Takut ]

5.1K 444 42
                                    


Aku menunggu dengan sabar

Di atas sini melayang-layang

Tergoyang angin menantikan tubuh itu

---

Tarian kematian

Jika Rayn tidak pernah merasa dirinya bisa menari sebelumnya, energi yang entah darimana datangnya, merasuk ke pembuluh darahnya. Membuatnya bergerak lincah dan ringan, menendang, memukul, menebas, dia tidak pernah merasa sebebas ini. Bahkan saat mengambil keputusan penting di perusahaan dan memenangkan tender milyaran ataupun membukukan keuntungan yang luarbiasa setelah melewati masa sulit, adrenalin yang dicapainya tidak pernah sederas dan setinggi ini. Bahkan setelah bercinta dengan wanita-wanita yang dipermainkannya sesuka hati di ranjang, dia tidak pernah merasa sepuas ini. Kekuatan kemarahan, dendam dan rasa takut yang tersalurkan, menjadi satu.

Tubuhnya berlumuran darah korbannya tapi Rayn tidak merasakan ketakutan sedikitpun. Tapi perlahan, kekuatan dalam tubuhnya surut saat para penyerangnya juga mundur teratur mengukur kekuatannya yang menggila, terdengar pekikan-pekikan keras yang semakin lama semakin menjauh.

"Mereka sudah pergi, sementara kita aman..." suara lembut itu menenangkan kebuasan yang semula merajai tubuh Rayn.

Kesadaran menghentak Rayn dan lelaki itu melepaskan parang yang tadi tergenggam erat pada tangannya yang gemetar. Percikan darah, potongan daging dan tulang. Kewarasan yang menghentak otaknya perlahan membuat Rayn begidik. Dia seorang assasin sekarang.

Rayn berdecih mengingat Tito mengirimkannya kesini agar dia menyadari sisi kemanusiaannya, tapi ternyata Tito membuatnya menjadi seorang pembunuh berdarah dingin.

"Tenanglah tuan tentara..." gadis itu menatap mata Rayn yang bersorot liar.

Rayn mengerjap dan mencoba meraih kewarasannya dengan susah payah.

Setelah cukup menenangkan diri, Rayn menuju ke arah tubuh Bima terbaring, rekannya ternyata sudah meninggal dunia. Tampaknya racun katak hutan telah menumbangkan pimpinan pasukan merah yang tangguh itu.

Nila berjongkok di dekat tubuh Rayn.

"Tuan, kita tidak bisa menguburkan teman-temanmu, pasukan yang lebih besar akan datang menyisir wilayah ini...sebaiknya kita cepat pergi atau pengorbanan mereka untuk kehidupanmu akan sia-sia..."

Dengan berat hati Rayn menutup mata Bima dan mengambil alih ransel dan semua persenjataan yang bisa dibawanya. Alat komunikasi, telepon satelit dan apapun yang bisa dijangkaunya.

"Sebaiknya tuan membersihkan diri terlebih dahulu, kau juga memiliki luka, setelahnya biar kuobati lukamu..."

---

Rayn membuka pakaiannya yang berlumuran darah dan membuangnya di sungai, berganti dengan pakaian milik Bima yang berada di dalam ransel, walaupun agak terlalu besar, setidaknya pakaian itu bersih. Saat Nila membuka bagian lengan seragam itu dan mengobati luka Rayn, lelaki itu masih menatap kosong ke aliran sungai yang bergemericik. Gadis itu berhati-hati dan terkadang seperti bergumam pada dirinya sendiri.

"Ada apa?" tanya Rayn.

"Tidak apa, hanya saja 'dia' tidak suka jika aku menyentuhmu. Karena itu aku harus berhati-hati agar tidak bersinggungan langsung dengan kulitmu..." Nila menghela nafas. "Aku juga berduka atas kematian paman Bima, dia lelaki yang baik. Tapi jika aku keluar dari persembunyianku sebelum waktunya, semua akan sia-sia...maafkan aku..."

Rayn menggeleng. "Bukan salahmu...bagaimanapun, terimakasih telah menolongku..." Rayn mengemasi ranselnya.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan..."

Borneo DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang