[6] Nightmare

4.7K 241 8
                                    

Note: (18++) disarankan tidak dibaca sebelum waktu berbuka.

~

Aku melangkah melewati batu-batu besar yang menyembul dari tanah yang miring. Di sebelah kiriku ada jurang yang lumayan dalam dengan bermacam semak belukar. Sangat mengerikan bila sampai jatuh kesana. Dengan sangat hati-hati sekali safety shoes orange-ku melangkah dari satu batu ke batu lapang yang lain. Sesekali berpegangan dengan batu di atas kepala.

"Tha' ati-ati... jangan cepet-cepet!" Suara di belakangku berteriak. Aku menoleh, namun silau terik matahari menyamarkan pandanganku. Tanpa mempedulikannya aku tetap menapaki batu-batu yang tinggal beberapa lagi.

"Tha' tunggu aku di situ jangan melangkah lagi!" teriak orang di belakang ku entah siapa. Sekali lagi aku tak menghiraukannya, aku terus menuruni bebatuan, menuju lahan setapak yang cukup datar.

Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Kumpulan perdu-perdu, pohon-pohon tinggi mengelilingiku. Burung-burung liar dan para monyet mengadakan konser di lereng seberang sana. Aku terkesima dan terus berjalan, hanya mengikuti kaki melangkah. Sayup-sayup nama ku dipanggil lagi. Saat aku berhenti di sebuah turunan datar, tiba-tiba tubuhku terdorong kedepan. Aku memekik kaget, berteriak kencang saat tubuh ini melayang di udara dan turun di tarik gravitasi.

Lalu suasana berganti. Aku terpejam namun bisa mendengar seseorang bergumam. Sebuah tangan juga mengelus rambutku. Memintaku sadar. Dengan sekuat tenaga aku menggerakkan kelopak mata, mencoba membuka dan melihat. Tapi seperti ada satu gentong lem yang merekatnya hingga aku tetap kembali ke keadaan semula.

"Tha' kamu kenapa sih suka buat aku khawatir? Kamu gak sayang sama aku? Kamu mau aku gila melihat kamu terus-terus kayak gini? Sayang, ayo bangun... ayo, kita main lagi!"

Setetes air jatuh ke pipi ku. Sebuah isak dari suara hidung yang bindeng. Rasa rindu tiba-tiba membengkak di dada. Tenggorokan ku menyepit, dan rembesan air ngisi kelopak ku yang tak jua membuka.

~

Konsentrasiku pecah, tumpukan laporan klien tergletak tak tersentuh. Layar komputer masih menyalakan Ms. Excel ketika hak tinggiku berderap menuju ruang bu Rusti. Hari yang kacau.

~

"Tha' aku bilang jangan kesana! Tha, disana jurangnya dalam... Hei, hei, Tha, Renata...!"

Aku mendapati tubuhku terus berjalan tanpa menghiraukan seruan di belakang. Decakan kesal terdengar, hanya saja aku terus merangkak pada batu satu ke batu lainnya, terlalu antusias pada pemandangan di bawah sana. 

"Wihhh... apik tenan yo—cantik sekali ya?" aku bergumam seorang diri menatap hamparan hijau di sebrang sana yang di batasi jurang yang lebar dan dalam.

"Kamu baru pertama kali kesini?" tanya seseorang yang baru kusadari keberadaannya. Seorang cewek, berambut sebahu lebih tinggi dariku. Wajahnya terlihat pucat, apalagi dengan jaket parasut hitam yang dipakainya.

"Iyah!" aku mengulum senyum.

"Kamu gak pengen kesana?" tanyanya lagi, tapi kali ini matanya menatap tajam ke perbukitan di depan. 

"Bisa ya? Eh, maksud aku—"

"Bisa!"

~

"Ren, kamu bisa kan?" kata-kata itu meluncur penuh tekanan. Mengembalikanku pada kondisi awal, yaitu bersama bu Rusti.

"B-baik bu, saya akan berusaha sebaik mungkin!" putusku agar pertemuan ini segera berakhir. Bu Rusti memberiku dokumen yang harus kupelajari, dan membiarkanku keluar setelah itu.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang