Langit mendung. Aku menatap sekilas ke angkasa sebelum beranjak membelokkan kemudi ke arah jalan besar di depan gedung kantor.
Masih pukul setengah tiga sore,dan aku sudah meminta izin pulang. Beruntungnya karena saat ini masih memasuki low season dan bu Rusti tak banyak bertanya.
Jalan yang mengarah ke bandara lumayan lenggang, masih tersisa lima belas menit sebelum pesawat yang ditumpangi Ryo mendarat.
Sepanjang jalan lagu-lagu lawas daratan eropa menemani laju mobilku. Satu pun aku tak mengerti vocal siapakah yang kudengar ini. Tapi syukurlah aku tak harus mendengarkan radio atau beberapa kaset yang kupunya, yang pasti akan mengingatkanku pada seseorang. Aku patut mengucapkan terima kasih pada Ryo yang meninggalkan kaset 'yang entah namanya apa' di laci dasbor mobilku.
Setidaknya mobil ini tak sunyi dan gaung-gaung di kepalaku tentang 'pria itu' sedikit menyisih.
"Hai, miss you so much!"
Hanya butuh beberapa detik saat aku menginjakkan kaki di departemen kedatangan dan Ryo dengan langkah lebarnya menyambutku dalam pelukan. Ternyata aku sedikit terlambat dan dia yang menungguku.
"Hai," aku melepaskan diri dari pelukannya, "sorry aku telat!"
"It's okey. Yang penting kamu disini. I am so happy!"
"Gimana amsterdam?"
"Kamu keliatan pucet? Sakit?" Ia malah balik bertanya padaku.
"I am fine. Mungkin terlalu banyak di depan komputer." Aku menatap Ryo memberi kesungguhan, walaupun sebenarnya jauh dari itu.
"Kalo gitu kita butuh piknik!"
===========
Ini bukan kostum yang tepat.Pasir putih menenggelamkan heel-ku. Dan sungguh sangat aneh harus berkeliaran di pantai dengan seragam kerja seperti ini.
"Kenapa Ren?" Ryo datang dengan dua kelapa muda di tangannya lalu ikut duduk di hadapanku.
"Pindah profesi menjadi pelayan ya?"
"Just to you!"
Aku melepaskan heel dan mengoyang-goyangkan kaki yang dipenuhi pasir.
"Seharusnya kita gak kesini kan?"
"Its okey Yo!"
Aku mengalihkan pandangan pada garis horizontal yang menjingga. Harusnya aku tidak kemari, karena apapun yang berhubungan dengan pantai dan sekelilingnya terasa menyakitkan. Tapi Ryo tak berhak tahu untuk itu.
"Mau ke pantai?"Ryo brdiri dan mengulurkan tangannya. Aku menggeleng pelan.
"Kamu duluan aja nanti aku nyusul!"
Dan Ryo hanya mengulas senyum sebelum akhirnya berjalan menyambut riak ombak seorang diri.
Aku menatap punggung Ryo yang semakin menjauh. Postur tubuhnya sungguh tak mengkhianati apapun yang melekat di kulitnya. Dia tampan, gentleman, dan... mencintaiku.
Aku menarik napas panjang pada kata terakhir itu. Sungguh aku tidak tahu harus menyikapi bagaimana.
Sejauh mata memandang pria itu sudah berjalan semakin jauh. Tubuhnya berubah mengecil saat berbalik ke arahku sambil melambaikan tangannya.
Aku tersenyum canggung, dan dalam sekejam sosok Ryo berubah menjadi orang lain di mataku.
"Mas Bhe udah capek jangan lari terus!"
"Makanya jangan cemberut terus... "
"Abise kamu bawa aku kesini? Kayak ndak ada tempat lain ae!"
"Aku tahu kamu gak mau kesini, makanya aku bawa kesini!"
"Kamu ndak ngerti se perasaan aku gimana?"
"Karena aku paling ngerti perasaan kamu yang! Sekarang aku tanya, sampai kapan kamu bakal benci ketemu pantai? Dulu katanya kamu pengen kita nikah di pantai."
"Itu kan dulu mas,sekarang aku gak yakin!"
Bhe menarik pundakku dan kami saling berhadapan. Di ujung sana matahari sisa separuh ditelan bumi. Angin laut memainkan rok, juga rambutku yang hanya sebahu.
"Kamu gak yakin sama aku?" Ucap Bhe dengan nada sendu.
"Aku ndak yakin sama diri aku sendiri. Apalagi setelah ayah...," aku mencoba mengurai kata dibalik dadaku yang tiba-tiba sesak.
"Tapi aku yakin sama kamu Tak, jadi sekarang kamu harus yakin sama diri kamu sendiri bahwa kamu, kita, bisa lewati ini semua berdua. Bertiga sama ibu."
Aku menatap mata Bhe yang penuh keyakinan, dengan kristal-kristal yang berjatuhan memyentuh pipiku.
"Jadi... biarkan aku --mas kesayanganmu ini-- menikahimu setelah ini!" Bhe menutup kalimatnya dengan menarik tengkukku. Dibalik jantung yang debarannya semakin laju ini, disaat aku meremas kaos Bhe dengan kencangnya, aku menyambut lumatan pelan di bibirku, juga sesapan lembut yang memabukkan.
Ciuman pertama kami. Ciuman pertamaku, diatas pasir pantai dan air laut yang membasahi mata kaki.
Aku mengintip langit gelap yang menyelubungi kami. Paru-paruku seakan membeku kala ciuman ini tak jua berhenti.
Aku terhenyak pada nyeri yang tiba-tiba hadir. Memupus bayangan kelam masa lalu. Kehampa mulai mengambil alih. Deru napasku berbarengan dengan mata yang mulai memanas.
Aku masih terpaku pada sosok Ryo yang kembali menjadi Ryo 'yang sesungguhnya' yang masih memainkan air laut di kejauhan.
Perasaan lelah mulai membanjiri, dan tawaran untuk berhenti kembali menggebu.
Aku beranjak dari dudukku, meninggalkan heel untuk berlarian dengan kaki telanjang menyisiri pantai.
"Hai, hati-hati nanti jatuh!" Ryo berteriak saat menyadari aku yang berlari ke arahnya.
Sembari mengatur napas yang ngos-ngosan aku berdiri di hadapan pria ini, mencoba menyakinkan diriku sendiri.
"Yo, apa tawaran pinangan mu itu masih berlaku? Dan bila iya, aku akan jawab sekarang!"
Manik mata Ryo melebar, tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Yo, aku mau... aku mau menikah sama kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love (END)
Ficción GeneralWaktu adalah hal yang tidak bisa kau ukur. Tak bisa kau terka... Aku disiksa setiap malam oleh waktu. Dia menunjukkan satu hal yang tak bisa kukira awal dan akhirnya... Pria itu datang dan pergi seperti aku rumah peristirahatan yang kosong. taman te...