[32] : Lagi

2K 144 3
                                    

“Ren, kalo jalan jangan cepet-cepet dong! Tungguin gua!” Ryo berteriak di belakangku. Sengaja sebenarnya aku berjalan cepat, bahkan terkesan tergesa. Malas satu mobil sama dia. Kalau bukan karena permintaan bu Rasti hari ini aku mungkin lebih memilih pakai Uber atau gojek. Lagian, laki kok lelet!

“Hei, hei, hei, mau kemana loe?” dia menggapai tanganku dan aku segera menepisnya.

“Gua mau cari taksi!”

“Kita kan berangkat bareng, masak balik sendiri-sendiri!” ujarnya sambil menahan agar aku tidak keluar gedung. Kami sudah mencapai lobi di salah satu perusahaan yang menjadi klien-ku.

“Gua bisa pulang sendiri, okey? Loe tinggal balikin tuh mobil ke kantor!”

Ryo memejamkan mata, terlihat sedang menahan emosinya. Lalu dia menoleh ke kanan dan ke kiri, dan mencondongkan diri padaku sembari berbisik. “Jangan mancing gua ya Ren! Ini kantor orang. Loe tinggal ikut gua ke basement sekarang!”

Aku menaikkan alis dengan tersenyum miring. “You wish…”

Ryo menarik tanganku dengan sedikit kasar, hingga tanpa sadar aku memekik. Beberapa orang memperhatikan kami, jadi aku harus bersikap lebih santai hingga mencapai gedung parkir.

“Jangan pernah tarik kasar tangan gua lagi!” aku menghempaskan tangannya ke udara dan segera masuk ke mobil.

“Duduk depan! Gua bukan sopir loe.”

“Gua biasanya duduk di belakang kalo naik taksi!”

“REN! Duduk depan kata gua!” Ryo melototiku, dan terlihat sangat menyeramkan. Dengan terpaksa aku kembali membuka pintu dan berpindah posisi.

“Turunin gua di bengkel mobil teman loe itu!” pintaku tanpa menoleh pada supir psiko disebelahku ini.

“Mobil loe belum selesai!”

“Loe mau begoin gua? Ini udah beberapa hari. seharusnya udah selesai dari kemarin-kemarin!”

Gara-gara dia aku harus cari taksi setiap pulang pergi. Masalahnya Ryo tak mau memberitahuku bengkel temannya itu. Padahal aku bisa mengambilnya sendiri.

“Teman gua itu kerjaannya banyak, gak cuma mobil loe doang!”

“Emang dia gak punya karyawan? Kalo gak pecus ganti ban gak usah buka bengkel!”

“Gua bisa antar jemput loe, kalo loe mau!”

“Sayangnya gua gak mau!” bentakku, sudah habis kesabaran. “Dan gua gak suka ya, sikap loe akhir-akhir ini, sok-sok ngirimin gua sarapan, traktir ini itu!”

“Gua peduli sama loe, dan gua suka itu.”

“Tapi, gua gak suka. Loe bikin anak-anak salah paham!”

“Gak masalah, bukannya sekarang loe single ya?”

Aku terperangah mendengar nadanya yang super santai. “Jadi karena gua single, gua bakal nerima loe?”

“Kenapa nggak?”

Aku menghembuskan napas panjang, dan mengalihkan pandangan pada luar jendela. Aku benar-benar bisa gila bila terus-terusan satu team dengan pria ini.

“Ini juga alasannya gua gak bawa mobil, karena gua tahu kita bakal satu mobil bareng!”

Cukup. Ryo benar-benar cowok psikopat. Dengan alasan mobilnya mogok di tengah jalan saat akan ke kantor, dan bersuka cita saat bu Rasti menawari mobil kantor. Tuhan, kenapa aku harus bertemu pria macam ini.

“Ini bukan jalan ke kantor, kan?” aku menoleh bingung pada Ryo yang tersenyum tipis.

“Kita dinner dulu baru gua antar loe pulang!”

“Enggak, gua mau makan dirumah!” aku menyahut cepat dengan rahang mengetat.

===============

Aku bukan tipe wanita yang mudah ngalor-ngidul dengan laki-laki. Bahkan bisa dibilang teman priaku hanyalah kenalan biasa, mau di kantor atau tempat fitness. Dulu aku sering sekali nge-gym, dulu sebelum Sammy melarang. Alasannya karena gym banyak laki-laki genit dan Sammy tidak suka.

Saat kuliah bahkan temanku cuma Lisa, teman laki-laki hanya saat ada tugas kelompok saja. Jadi siapa pun yang berhasil membawaku nongkrong ataupun dinner dan nonton bisa dipastikan seratus persen akan menjadi pacarku, lebih tepatnya kami akan pacaran. Bila tidak suka, maka aku akan menjauh. Tapi sekarang, aku seperti terkena karma. Dan Bara mungkin salah satunya. Atau mungkin juga orang di depanku sekarang.

“Gimana? Enakkan?” Ryo mengajakku ke Restoran padang dan memaksa untuk memilih makanan yang dia rekomendasikan. Namanya Kalio, ya… mirip rending lah cuma lebih kental saja bumbunya.

Hanya saja kenapa harus di restoran ini? kepalaku tak bisa berhenti mengingat satu papper bag dengan logo restoran tempat aku duduk sekarang. Papper bag yang bertengger di meja kerjaku tiga bulan yang lalu. Dan aku merindukan saat-saat itu. Merindukan orang yang membawanya. Senyumannya, tubuh tegapnya, juga harum tubuhnya. Tuhan, aku benar-benar benci merasakan ini.

“Gua udah belikan mahal-mahal, jangan sampai gak dimakan!” tukas Ryo saat aku hanya memainkan sendok dengan lesu.

Dasar cerewet, siapa juga yang maksa kesini. Aku hanya melirik dengan wajah masam. Dan berusaha menelan makanan di depanku.

“Ren, bisa gak sih kita punya hubungan yang baik?”

Aku langsung mendongak dengan dahi berkerut. Maksudnya?

“Maksud gua… kita gak usah bertengkar kayak anak SD lagi. Gua tahu dulu gua salah banget, mungkin sulit buat loe maafin itu. Tapi, bisakan kita berteman kayak anak-anak yang lain?” Ryo menaruh tangannya di atas tanganku. Dan aku segera menariknya.

Ini sangat membingungkan, aku tidak tahu harus menjawab apa. Disatu sisi aku akan sangat egois bila memberi respon negatif, tapi disisi lain aku ingin menghindari Ryo.

Aku menatap kosong pada jalan keluar, memandang orang-orang yang berlalu lalang.
“Kita bisa coba pelan-pelan Ren. Gua gak seburuk yang loe kira!”

Bagaimana dia bisa bilang seperti itu, setelah menyudutkanku di pantry dulu. 

“Kita satu bagian, aneh banget kalo kita musuhan.”

“Gua gak akan berbuat aneh sama loe lagi!”

“Gua gak suka loe takut ama gua. Gua benci saat loe menghindar dari gua!”

“Ren? Loe dengerin gua kan?”
Aku mengalihkan tatapan pada Ryo tanpa mengubah ekspresi sama sekali.

“Oke, gua akan berusaha terima loe jadi teman gua!”

Dan dia tersenyum, hingga aku merasa muak dengan diriku sendiri yang tidak bisa menolak Ryo. Kembali aku menatap kearah pintu, lalu disanalah aku menemukan pria itu…

DEG

Dan sekali lagi dengan seorang wanita…

Tapi kali ini tatapan mata kami bertemu.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang