[7] : Hello from the other side

5K 256 4
                                    

Tanahnya licin, mungkin karena hujan saat malam. Semak belukar dibawah sana seperti rimbunan duri yang siap menyambut punggungku. Semua sendi menjadi kaku, telapak tangan juga mulai berkeringat. Aku berusaha, mengeratkan genggamanku. Berharap pada satu-satunya batang pohon katuk yang tingginya hanya dua jengkal.
Namun sekali lagi aku katakan, tanahnya sangat licin. Dan sekuat tenaga kakiku mengais permukaan, hanya saja sepatuku mulai tergelincir. Jadi setelah itu...

Ahhhh...

Aku bergiding ngeri mengulang secara sadar mimpi semalam. Bulu kuduk meremang, bahkan aku mulai menggigil. Tanpa sadar aku kembali menggigiti kuku, aksi setiap kali aku cemas. Untuk pertama kalinya mimpi itu datang lagi, aku yakin telah membuangnya dua tahun yang lalu. Hanya saja kali ini seperti menyerangku bertubi-tubi, seperti cerita bersambung yang butuh penyelesaian.

Neurologis. Aku sudah tidak ingin meminumnya, tapi aku takut sulit tidur malam ini. Sammy sudah berangkat, pagi-pagi sekali. Aku tahu karena aku tidak bisa tidur setelah mimpi itu. Jadi, bagaimana dengan nanti malam? Mimpi yang lain bisa datang...

"Tak, telepon loe bunyi tuh!" panggilan Lulu dari kubikel seberang mengagetkanku. Dan benar saja, lampu telepon berkedip-kedip tanpa henti.

"Ren, ke ruangan saya!" suara Bu Rusti seperti komandan militer, jantungku berdegup sangat cepat. Mampus, apalagi nih!

.
.

Aku hanya bisa menggigit bibir ketika pihak Galaxy Management berpamitan pulang dan melewati pintu. Sekali lagi klien baru menambah list yang akan menambah masa sibukku.
"Ren, CEO-nya ganteng loh, kamu udah tahu?"

Heh?

Aku tersenyum tipis dan menggeleng. Tanpa minat sedikit pun.

"Yang tadi itu temen saya saat kuliah. Pak Handoko. Makanya saya percayakan dia sama kamu." Ujar bu Rusti menyebutkan salah satu orang yang menjadi utusan GM.

"Tapi bu, kenapa bukan Lulu, Risma, atau Bayu, merekakan sama seniornya seperti saya?!"

Sebenarnya aku sangat malas menambah klien lagi, sebesar apapun perusahaannya. Semakin besar, semakin ruwet. Klien-klien yang kemarin saja sudah menyita sebagian besar hidupku untuk menjadi manusia normal. Ck, resiko bekerja di AP, mau bagaimana lagi. Walaupun sekarang masih memasuki masa Low season, tetap saja tidak bisa santai.

==========

"Hei, gimana Singapore?"

"Panas, apalagi gak ada kamu!"

"Gombal. Gak pantes tau.... Ehm, kamu udah makan?" aku melirik sekilas pada jam tangan yang masih melingkari pergelangan kiri. Satu jam lebih cepat waktu singapur, berarti... jam sembilan lebih dua puluh lima menit. "Jangan tinggalin makan, apalagi langsung tidur!"

"Iya, honey-ku yang bawel. Ini lagi dinner!"

"Masa' coba aku ngomong sama Dino, aku pengen tahu kalian dinner bener atau cuma nongkrong doang!"

"Sayangnya Dino lagi ke toilet tuh, hehehehe!" Sammy tertawa mengejek, dan aku ikut tersenyum kecil. Ada lega saat mendengar kekehan itu. Kangen.

Aku menekan speaker, dan berdiri menjauh dari ponsel. Bersiap mengganti pakaian.

"Kamu tebak aku dimana?" suara Sammy mengudara mengisi ruangan.

"Harus ya?"

"Kamu nyalain speaker?" Tanyanya, mungkin disana suaraku menggelegar.

"Lagi ganti baju!" aku menarik satu setel babydoll yang sudah lama tidak keluar dari lemari.

"Pengen disana liat kamu ganti baju!"

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang