[28] : seseorang di masa lalu

2.5K 163 3
                                    

Yang pada nanya 'Bara kemana? Bara kok ilang!', Bara masih aku umpetin dulu, belum waktunya dia keluar 😆😆

|||||||||

“Ryo, lepas… lepas kata gua! Lepas Ryo! LEPAS!” tanganku terasa perih di cengkramannya yang semakin menguat. Masih dengan sisa-sisa tenaga, aku berusaha mendorongnya juga menarik pergelanganku dalam waktu yang sama.

Bentakkanku seperti angin lalu bagi pria ini. bahkan saat air mataku merebes keluar, dia tak jua mundur. Aku benar-benar sial karena tak ada siapapun di basement ini, kemana pemilik mobil sebanyak ini? kenapa tak ada satu pun yang lewat.

“Gua bakal lepas kalo loe gak memberontak. Oke?” ucapan Ryo yang lembut sangat kontras dengan perlakuannya. Seakan dia sedang menenangkan balita yang sedang menangis.

Perlahan genggaman Ryo melemah dan akhirnya lepas. Matanya juga memandangku dengan iba.

“DASAR BRENGSEK LOE!!!” teriakku sembari mengusap pipi yang basah dan bergegas lari menjauh.

“Sampai kapan loe menghindar dari gua Ren? Loe gak akan pernah bisa!”

Aku tak mengacuhkannya dan berusaha membuka pintu mobil. Yang ada di otakku adalah aku harus pergi dari tempat ini sesegera mungkin.

Saat sebuah tangan menarik bahuku, tubuh ini bergerak reflek menghindar. “Sekali lagi loe nyentuh gua, semua orang di gedung ini bakal tau seberapa bejat loe ini!” aku melontarkan ancaman. Walaupun tidak yakin akan mempan.

“Loe boleh lakuin apapun yang loe mau Ren. Apapun. Tapi gua gak akan biarin loe pulang dalam keadaan seperti ini. Kecelakaan kemaren bisa terjadi lagi.”

“Bahkan bila pun gua mati, itu bukan urusan loe!” aku menyentak tangannya yang memegang pintu mobil.

“MINGGIR, gua udah muak berbagi oksigen dengan loe!”

Tapi nyatanya aku kalah cepat, Ryo membopong badanku dengan mudahnya, bahkan belum sempat aku berteriak, dia sudah menutup pintu setelah mendudukan aku di kursi penumpang belakang.

“DASAR BRENGSEK!! CEPAT KELUAR DARI MOBIL GUA SEKARANG!” tensiku naik berkali-kali lipat.  Bentakan, makian, juga sumpah serapah keluar dengan bebas tanpa saringan. Aku juga menendang jok kemudi yang didudukinya.

Laki-laki itu tetap menyetir keluar dari area parkir. Tak bersuara sama sekali. Aku seperti orang gila yang meronta minta keluar.

Sial, sial, sial. Hari ini penuh kesialan. Sejak pagi bu Rasti sudah marah-marah karena salah satu klien besar melepaskan diri. Ini berimbas juga padaku yang kemarin bolos, karena klien itu aku yang menangani. Dan yang lebih parah lagi, dia menugaskanku pergi ke GM bersama Ryo.

Pagi tadi aku bisa menghindar dari pria ini dengan pergi lebih dulu. Dan rencananya aku juga akan diam-diam pulang tanpa sepengetahuannya. Tapi rencana hanya rencana, hanya sempurna di otak saja. Toh, aku ketahuan juga.

Are you okey, Ren?” Tanya Ryo seraya memutar kemudi mobil, keluar dari lantai parkir GM.

Aku enggan menjawab. Dengan menggigit bibir aku bersandar pada kaca mobil dan menatap kosong pada punggung kursi yang di duduki Ryo. Dalam hati aku berdoa semoga dia tak berniat membawaku ke tempat asing.

“Ren… Sorry!”

Jeda.

“Sorry karena udah kasar. Sorry karena itu menyakiti loe!”

Aku memilih diam. Hatiku terasa kosong. Bahkan berapa kalipun Ryo meminta maaf, aku tak merasakan apapun, hanya seperti melihat iklan yang tak begitu menarik. Ucapannya seperti kaleng kosong, yang suatu saat pasti terulang lagi.

“Gua serius saat bilang… kalo gua takut kecelakaan kemarin menimpa loe lagi! gua serius khawatir!”

Terdengar tarikan napas berat.
  “Loe boleh percaya ataupun enggak. Tapi loe mulai menjadi bagian dari diri gua!”

Aku tersentak. Namun sebisa mungkin bersikap biasa saja.

“Ren, loe harus tahu… kalo gua gak bohong saat bilang presepsi loe salah tentang mas Bram!”

Ingatanku di paksa melayang ke hari jumat malam minggu lalu. Kejadian saat aku bersama Bram di taman hotel. Ketika Ryo tiba-tiba muncul dan menyeretku dengan paksa keluar dari area hotel, bahkan kami hari itu berada di pinggir jalan raya.

“Loe salah kalo ngira mas Bram adalah orang yang menyakiti hati loe selama ini!”

“Loe salah besar Ren. Loe udah nyia-nyiain hidup loe pada orang yang gak seharusnya loe pikirkan!”

Malam itu suara Ryo di latar belakangi oleh dengungan motor dan mobil yang lewat.Tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan nada marahnya bisa kutangkap.

“Ren, bukan mas Bram orang yang harus loe salain atas semua masa lalu loe.”

Mata kami bertemu di reviewer mirror, dengan pandangan yang berbeda. Aku yang menatap lurus membunuh, dan Ryo dengan ketenangan yang berusaha ia tampilkan.

“Loe tahu semua tentang gua, darimana semua itu? Siapa sebenarnya loe Ryo?”

Setelah lama hanya diam dengan segala pertanyaan yang berkecambuk dalam otak ini, aku akhirnya memberanikan diri menyuarakan isi hatiku. Tangan Ryo yang akan membuka pintu mobil berhenti. 

Kembali, mata kami bertatapan melalui kaca mobil. Aku bisa melihat wajahnya yang terkejut dan berubah pias.

Hanya saja, usahaku mengunci tatapan itu ternyata sia-sia. Kami sudah sampai di depan gedung apartemenku, dan Ryo yang awalnya bergeming, tiba-tiba semakin buru-buru keluar dan pergi tanpa satu jawaban pun.

Dalam diam, tak beranjak menuju bangku kemudi, otakku yang sudah semrawut ini memutar ulang wajah Ryo beberapa saat lalu. Rahang, hidung, dan mata terlihat sangat familiar, namun aku baru menyadarinya sekarang. Tepatnya setelah kecelakaan. Dan rasa penasaran ini semakin bertambah atas hadirnya Ryo di pesta pertunangan Bram kala itu, juga ternyata mereka yang saling mengenal. Bahkan lebih.

Aku yang mulai mengumpulkan serpihan-serpihan wajah di masa lalu, mulai percaya bahwa penampakan tak jelas seseorang itu nyata dan ada.

Lalu siapa? Antara aku dan Bram dan...

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang