[44] : Flashback (1)

1.7K 111 3
                                    

Aku keluar dari ruang praktek dokter Bisma setelah mengungkapkan semua yang memenuhi kepala. Pembatalan hypnoterapi salah satunya, aku sungguh tak memerlukan hal semacam itu lagi. Karena apa? Karena aku bisa langsung bertanya pada objeknya.

Aku melewati lorong-lorong rumah sakit dengan kilas-kilas masa lalu yang yang silih berganti.  Aku dibawa masuk ke dalam masa transisi, dimana sulit sekali mengendalikan mental dan emosional. Debaran jantung ini semakin tak teratur, ingin rasanya berteriak marah atau menangis sekencang-kencangnya.

°°°

Februari, 2005~

“Ye….” Sorakan penonton semakin bergemuruh menyambut  permemainan di lapangan dengan membawa kemenangan salah satu team. Seluruh pemain berjalan menuju backstage, tak terkecuali aku yang sejak tadi tak bisa duduk dia di bangku penonton.

“Gimana, aku keren, kan?” Bhe bertanya sembari menghampiriku yang baru masuk ke ruangan dimana para pemain melemaskan tubuh mereka.

Aku menyengir. “Masih kerenan mas Bram ih!”

“Jadi pacar kamu ini gak keren? Lebih keren orang lain?” cetus laki-laki ini yang sembari mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Wajah ngambek Bhe kumat lagi.

Aku tersenyum pada seseorang yang duduk di belakang kami, yang kebetulan menatap kearahku.

“Udah bisa nakal ya kamu, ada pacarnya tapi masih jelalatan.” Punggung tangan Bhe yang penuh keringat menyapu wajahku.

“Ih, jorokkkk!” terikku ketika merasa bahwa wajahku ikut basah oleh keringatnya. Aku mencubit keras-keras lengannya yang terekspos.

“Aw, aw, aw, sakit Tak. Jangan KDRT lah.” Bhe mengadu sembari menggosok-gosok lengannya.

“Abisnya, kamu nyebelin!”

“Wes-wes kalian itu, gak dimana-mana bertengkar terus. Nanti kalo putus, nyusahin gua.” Bram datang mendekati kami.

“Abisnya ini si cungkring nyebelin mas, bikin aku marah terus.” Seperti biasa aku mengadu pada mas Bram.

“Ck, liat tuh mas, masak sama gua njambal(kurang ajar), tapi sama mas Bram…”

"Ihhhh...," dengan kekuatan penuh aku mencubit pinggang Bhe yang masih tertutup seragam futsalnya.

"Awwwhh, sakit!" Untuk kesekian kalinya Bhe meringis dan menatapku sebal. "Udah ah, aku mau mandi dulu."

Dia meninggalkanku sendiri dan menyusul mas Bram ke arah ruang ganti. Berada di tempat yang didominasi para laki-laki aku berubah membatu meski beberapa dari mereka tersenyum menggoda.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah berjalan menuju tempat parkir.

"Bhekkkkkkkkkkkkkkk" aku meneriaki Bhe ketika langkah cowok itu semakin cepat menuju parkir motor dan aku tertinggal di belakangnya.

Reflek ia berhenti lalu menoleh ke belakang, padaku yang menampilkan wajah cemberut.

"Takk, udah magrib jangan teriak-teriak!"

"Yo kamu ninggalin aku!" Rajukku sambil menghentak-hentakkan langkah mendekatinya.

Kami memang bukan pasangan romantis yang kemana-mana selalu sejajar atau gandengan tangan. Ya, seperti ini setiap kali ketemu, kalau tidak aku yang jalan duluan, ya Bhe yang ninggalin aku. Mentang-mentang kakinya panjang. Dasar cungkring, untung cinta.

"Kenapa lagi? Gak biasanya gandeng-gandeng tangan?" Kata Bhe saat aku memeluk lengannya dan mengosok-gosokkan ke rambutku.Fyi, tinggiku hanya sebahunya.

"Yang, aku ikut kemah yah yang ke Jawa Barat besok!"

Bhe menghentikan langkahnya lagi, jadi aku yang menempel padanya juga ikut berhenti. "Gak boleh! Lagian kamu kan udah bukan anggota pramuka."

"Iya, tapi ndak papa kata mas Yus. Kan aku juga belum ujian."

Kami kembali berjalan tapi kali ini raut wajah Bhe berubah mengeras.

"Mas Bhe boleh ya..," Bhe masih tak merespon, "Ayang please... cintaku, sayangku jiwa dan ragaku...,"

Kami sampai di parkiran dan Bhe langsung memakaikan helm di kepalaku dan kepalanya. Masih dengan tanpa suara ia menyalakan mesin, namun aku yang kesal jadi malas naik.

"Ayo naik, nanti kemalaman aku kena marah ibumu loh!"

Bibirku mencembik. Kesal, kecewa dan ingin marah. "Aku pulang naik angkot aja!"

"Ck," Bhe melepaskan helmnya dan menatapku tajam. Aku langsung saja memalingkan wajah. Malas menatapnya.

"Kamu itu loh, ya liat situasi kalo mau ngambek. Kayak berani aja naik angkot." Tutur Bhe dengan suara lembutnya seperti biasa, tapi aku malah ingin nangis. "Aku bukannya gak seneng kamu ikut pramuka, tapi kamu kan baru sembuh. Nanti kalo tipusnya kambuh gimana?"

"Kan ada kamu?" Cicitku dengan sangat lirih. Airmataku sudah hampir turun. Aku malu kalau Bhe tahu aku nangis.

Tangan Bhe menarikku mendekat, melingkari bahuku dan membawa kepala ini (dengan helm ya by the way) ke dadanya. "Wes... ndak usah cengeng, nanti kalo aku pulang dari kemah. Aku ajak kamu naik ke Ranukumbolo."

Sontak aku mengedip-kedip tertarik dengan apa yang kudengar. "Semeru? Kita ke semeru? Danau yang cantik itu?"

Bhe mengangguk dengan senyum terukir di wajahnya.

"Yeeeee... akhirnya. Janji ya? Pokoknya yàng kamu gak boleh boong! Aku tagih terus!"

"Iya. Ya udah ayo naik!"

°°°

Beberapa hari kemudian...

"Tak, itu bukannya mas Bhe?" Maria yang sejak tadi bersamaku sejak keluar dari kantin menunjuk ke arah taman yang memisahkan sekolahku dan gedung disebelahnya, yaitu sekolah Bhe. Kami memang satu yayasan, bedanya Bhe SMA dan aku SMP.

Enak ya berdua-duaan dengan Erika di bawah pohon. Aku mendengus kesal, dan langsung berjalan ke arah mereka.

"Bhe kamu jadi ikut kan kemah bulan depan? Kalo gak ada kamu gak bakal seru!"

Semakin dekat, aku semakin jelas apa yang mereka bicarakan.

"Aji Barata Chandrawinata!!!" Bentakku dengan napas menggebu. Kedua orang yang membelakangiku segera menoleh, kaget.

"Tak, kamu dari mana? Aku denger bell masuk dari sekolah kamu." Ucap Bhe dengan santainya. Sedangkan Erika- teman satu angkatan Bhe yang setahuku anak pramuka, hanya menjauhkan pandangannya saat aku memberi tatapan tajam.

"Gurunya gak masuk." Balasku cepat tanpa berpikir.

"Yo wes Bhe, aku ke kelas sek yo!" Erika tiba-tiba pamit dengan tersenyum manis pada Bhe kayak sakarin. Bikin sakit tenggorokan. Tapi tak menoleh ke arahku.

"Sini duduk! Kamu kenapa?"

"Oh jadi gitu... kamu ndak bolehin aku ikut kemah karena biar bebas deket-deket Erika?" Tandasku sarkas. "Yo wes terserah. Tapi jangan harap aku mau ketemu kamu lagi."

Sambil berbalik badan airmataku jatuh tanpa ditahan. Mungkin aku sedikit kekanak-kanakan, tapi aku benci Bhe dekat dengan Erika. Apalagi aku dengan perempuan itu sudah musuhan sejak SD, dan fakta dia menyukai Bhe membuat aku ingin selalu mencakarnya.

"Hei, Erika kan juga jadi pembina. Aku gak yakin kalian akan baik-baik aja kalo sudah kumpul! Aku gak mau ada perang dunia ke empat!"

Bullshit.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang