[13] : His named is (Batu) Bara

4.2K 237 4
                                    

Aku baru berjalan beberapa langkah di lantai lobi dengan Lulu untuk makan siang di salah satu warung tenda di dekat gedung ini, tanpa kusadari Dinda mengaitkan tangannya di lengan kananku. Aku sampai melonjak kaget dengan gerakannya yang tiba-tiba.

"Ih, Dinda... kirain siapa," kataku setengah jengkel. Seperti bisa gadis cantik ini cuma menyengir manja.

"Kok tumben bukan Citra yang pertama makan siang Din?" Gantian Lulu yang bersuara. Dia berada di samping kiriku, jadi harus condong ke samping dulu bila harus bertatap muka dengan Dinda.

"Iya, Dinda gak sarapan, jadi udah lapar deh!" jawab Dinda 'masih' dengan tutur kata manja. Dari sekian banyak orang yang kukenal di gedung ini, cuma anak ini yang cara bicaranya kekanak-kanakan.

"Mbak, kata Citra temen mbak yang kemarin ganteng, kenalin dong! Dinda lagi jomblo loh," tandasnya lagi yang langsung membuat kedua alisku berdekatan.

"Siapa? Teman yang mana?" tanyaku sedikit geli, di tambah dengan senggolan Lulu yang sontak membuat aku ingin tertawa namun secepat mungkin kutahan.

Aku tahu Dinda memang dekat dengan Citra, tidak diragukan lagi karena mereka sama-sama resepsionis. Tapi yang baru kutahu, salah satu bentuk kedekatan mereka adalah  saling berbagi info tentang orang yang berhubungan denganku.

"Itu... yang kemarin katanya nemuin mbak di Lobi. Sayangnya aku gak masuk, kalo gak kan aku tahu orangnya!"

"Eh... siapa sih? Kayaknya...,"

Sejurus kemudian, sebuah film pendek berputar di otakku. Segera saja langkahku terhenti, dengan wajah kebingungan aku menatap mereka berdua.

OMG... kunci motor itu!

"Eh, gua gak jadi makan deh ya, loe bedua aja. Gua lupa ada janji!"

Dinda dan Lulu diam membisu terakhir kali aku melihat mereka sebelum berbalik dan lari memasuki lift. Telunjukku bergerak cepat memecet tombol lantai kantorku. aku belum memikirkan apa yang harus kulakukan sesampainya di meja nanti. Besar kemungkinan aku tak akan tenang bila melanjutkan pergi untuk makan. Jadi lebih baik berpikir mencari solusi.
Bodohnya aku benar-benar melupakan perihal kunci milik lelaki itu, padahal dia bisa saja menuntutku seperti ancamannya kemarin.


Aku kembali ke ruangan, mengacak-acak isi tas mencari kartu nama cowok itu. Sial, kenapa aku jadi pelupa.

Kemarin sore aku sudah menelepon pihak dry and clean, dimana aku me-londry tas yang kupakai hari itu. Harapan terakhirku adalah ada kunci di dalam Longchamp  silver itu yang tidak kukeluarkan. Jadi, hari ini jadwalku seharusnya mengambil tas di dry and clean, dan bila kunci itu memang ada, aku harus segera menghubungi pemilik kartu nama ini.

Lalu, makan siang? Lupakan saja!

==========

Lima puluh menit aku di dalam taksi, setelah bertemu dengan Adriana Mike Sudibyo, pemilik kartu nama yang sudah kusut akibat remasan tanganku. Saat ini, aku sudah berdiri di lobi salah satu hotel bintang lima dengan wajah gusar, sebal, dan ingin memakan hidup-hidup sang pemilik kunci motor,  (benda itu kutemukan tiga jam yang lalu itu).)

Menunggu Andriana Mike Sudibyo—yang satu jam lalu kupanggil dengan 'mbak Andri'—selama 20 menit sudah cukup lama. Tapi, yang aku dapat bukanlah pemilik  kunci motor yang sebenarnya, tapi pengacara pria sialan itu, yang juga adalah sang kakak. Mbak Andri memintaku mengembalikan sendiri pada adiknya, memberiku alamat dimana pria itu tinggal dan langsung pergi setelah berpamitan. Bahkan aku tidak sempat untuk membantah.

Ish, keluarga macam apa yang membiarkan anaknya tinggal di hotel, disaat rumah kakak sudah seperti istana. Aku tak berhenti menggeram kesal sembari menaiki lift kelantai tiga puluh satu.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang