[38] : Satu Lagi Hari Bersamanya

2K 142 0
                                    

"Gua mau chivas." Pintaku ketika sampai di meja bar. aku menopak tubuh di bangku tinggi, dan mencoba mengendalikan laju napasku.

Bara. Apa yang ia lakukan disana? Seorang Dj? Sejak kapan?

Air mata datang, dan kali ini aku tak kuasa menahannya. Bulir-buliran itu lolos dari pelupuk mataku. Apa lagi yang ia tutupi dariku? Selain jati diri.

Aku langsung menegak satu slot yang ada di hadapanku, lalu melanjutkan pada slot kedua secara beruntun. Tak ingin menumpuk jeda karena rasa sakit ini pun tak ada habisnya.

Saat menuang untuk slot ketiga dan akan kembali menegak, seseorang merampas dari tanganku. Aku mendongak dan bertatapan dengan wajah marahnya.

"Hai Ren, gua gak tahu kita bakal ketemu, dan lagi-lagi di tempat seperti ini." ujar Bara setelah dengan lancang meminum habis alkoholku.

"Gua kira loe gak doyan alkohol!"

"Bukan gak doyan, tapi gak mau. Dan kali ini gua terpaksa." Tatapan tajam Bara tak berhenti menghujamku.

"Gak ada yang maksa Bar. Loe boleh pergi karena gua gak mengundang loe datang."

" Gua ngundang diri gua sendiri."

Aku bangkit berdiri. Rasanya semakin sesak mendapati Bara di sampingku.
"Are you okey?" Bara menghalangiku pergi. Tubuhnya menbungkuk, bahkan dahi kami hampir bersentuhan.

"Enggak ada alasan gua gak oke. I'am fine." Tegasku berusaha terdengar setegar mungkin.

"Gua pernah bilang kan kalo loe gak pinter boong."

"Apa pun itu, gak ada hubungannya sama loe, Bar. Ini hidup gua, dan loe bukan orang yang berhak men-judge."

"Apa yang salah dengan loe, Ren? Yang gua tahu, terakhir kali kita bertemu semuanya masih baik-baik saja." Bara memicingkan mata.

"Terakhir kali? Kapan tepatnya?" aku memberi tatapan menantang.

Bara terdiam, seperti berpikir agar tak salah menjawab. Aku tak perlu menunggu pria ini berdalih, tanpa pikir panjang aku melangkah mundur dan menjauh.

==============

"Kenapa loe pulang gak bilang-bilang gua? Gua udah kayak orang gila nyariin tahu gak. Terus panggilan juga baru di angkat sekarang, loe kenapa lagi sih, Ren?" Lisa tak berhenti mengomel sejak beberapa menit yang lalu. Bahkan aku harus menjauhkan telinga sejenak dari ponsel.

"Iya, iya sorry. Bu Rasti nelepon gua, jadi gua harus responding." Aku segera menggigit bibir karena berbohong.

"Ya seharusnya loe kabarin gua dong."

"Sorry, gua lupa." Kali ini aku tak berbohong. Sesampai di rumah, tak ada yang mengisi kepalaku selain pertemuan kembali dengan Bara. "Lis, loe marah? Gua janji deh gak gitu lagi."

Di seberang sana Lisa tak kunjung bersuara, tapi panggilan masih terhubung. "Lis, gua traktir ke salon langganan loe deh, biar loe percaya kalo gua beneran nyesel!"

"Oke! Senin sore besok loe harus luangin waktu buat gua!"

"Gila loe, pekerjaan gua lagi banyak-banyaknya. Weekend depan kali sih!"

"No way." Kemudian telepon ditutup.

Bangke!

Hari ini karena aku izin untuk bekerja di rumah. Setelah menerima telepon dari Lisa, aku menghabiskan waktu di kamar. Tempat tidur berantakan dengan pola tingkahku saat mengerjakan laporan. Aku bertekad untuk memusatkan diri pada kerjaan dan tak ingin memikirkan hal lain. Sesekali pesan dari Ryo menggangguku, meski aku berkata padanya bahwa kerjaan ini takkan selesai bila ia berulah terus.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang