[27] : Pertunangan 2

2.8K 190 5
                                    

Bram

Aku mulai melihat pria itu berjalan kearahku. Tubuhnya yang tinggi bisa melangkah lebih lebar. Aku segera tersadar, bahwa aku harus pergi secepatnya.

Dengan tumit yang sedikit sakit karena sepatu ini. Aku bergerak cepat menyalip tamu-tamu yang berkumpul membentuk kelompok. Ada beberapa yang menatapku penuh ingin tahu, tapi masa bodoh dengan mereka. Bahkan aku tak punya waktu untuk mencari Lisa, biarlah dia bersenang-senang. Sepertinya aku pulang saja dan mengubur semua rencanaku malam ini. Aku tidak sanggup.

Aku melewati dua penjaga tadi tanpa melirik mereka. Berjalan menuju lobi hotel dengan tergesa. Di dalam dadaku seperti ada gemuruh ombak. Aku tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti apa yang kurasakan, apa sebenarnya yang kuinginkan dengan datang kemari, kepastian seperti apa, bukannya aku sudah tahu jawabannya.

Dasar bodoh! Aku merasa geram dan ingin mengubur hidup-hidup diriku sendiri.

Tumitku rasanya mau robek, dan di sudut lain hotel aku memilih mengistirahatkan diri.

“Ren!” sebuah panggilan tegas menghentikan kakiku yang memang sudah tak lagi berjalan buru-buru. Saat aku berbalik, Bram ada di depanku dengan dada naik turun.

“Hai, aku gak tahu kalo kamu datang!”

Aku diam. Tak bergerak sedikit pun, bahkan saat pria itu berjalan mendekat.

“Kenapa kamu lari?”

Apa dia harus bertanya? Ini kedua kalinya dia berbicara padaku sebagai orang asing. Dan haruskah dia bertanya seperti itu? Tidakkah dia tahu bagaimana perasaanku! Hampir delapan tahun, dan dia berucap seperti kami sudah sering bertukar cerita.

Saat aku tak jua menjawab, jakun Bram bergerak. Dia menelan ludah, gugup?

“Kamu apa kabar?”

“…”

“Kamu udah sehat dari tabrakan kemarin?”

“…”

“Aku gak tahu kalo Rinda ngundang kamu!”

Aku berjalan mendekat, dengan keberanian entah dari mana.

PLAK

Air mata-- brengsek... aku tak bisa membendungnya

Bram terkesiap. Tatapan tajamnya menghujamku. Sebelum dia bersuara, aku berkata lebih dulu. “Ini untuk delapan tahun yang lalu, dan juga sekarang.” Napasku mulai memburu.

“Seharusnya kamu pergi setelah memberiku penjelasan. Seharusnya kamu menyakitiku di awal, bukan membuatku terlontang lantung seperti orang gila begini…” nadaku seperti bisikan, menahan nyeri yang melebar. Aku mulai membenci diriku sendiri. Kenapa aku memulai semua ini. Harusnya aku sudah, harusnya aku tidak datang.

“Ren, kamu harus denger penjelasanku dulu…”

“Apa lagi yang harus aku dengar, delapan tahun… cukup buat aku mengerti semua!”

Rasanya menyakitkan mengingat delapan tahun ini aku terlontak-lantung seorang diri, seperti botol kosong. Merasakan mimpi buruk ini seorang diri, menjadi gila dan tertekan setiap malam.  Ketika orang yang terlibat dalam kekacauan ini mungkin sedang sibuk berpesta.

“Tak!” Bram memejamkan mata, menarik napas panjang dan berjalan ke arahku. Mendengarnya memanggil seperti itu, aku bisa merasakan masa lalu yang nyata ada di hadapanku. Rasanya sakit sekali. Jantungku seperti diberi hujaman semakin dalam, hingga bernapas pun terasa berat.

Sapuan tangan Bram dilenganku hampir terasa nyata, sebelum akhirnya seseorang menjauhkan kami dengan tatapan tajam tertuju kepada pria itu.

“Loe seharusnya gak ada disini!”

Ryo?

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang