"Jadi jabley dong loh!" Ucap Lisa di sela-sela fokusnya yang sedang mengonta-ganti channel tv.
"Gila aja, enggaklah. Lagian status kita masih sama kali!" Sahutku sambil mengaduk aduk saus bolognese yang sudah matang. Segera menyiramkannya di atas pasta dan kembali ke ruang tamu.
"Hemmm, sering-sering aja deh gua kemari!" Lisa berseru pada spagetti yang kuletakkan di hadapannya.
"Dih, buka warung aja deh gua."
"By the way... kalo nanti Ryo balik kalian bakal pacaran?"
Aku mengangkat bahu, tidak berani menyimpulkan.
"Kok gitu sih? Mau sampai kapan loe gantung anak orang? Kalo gua jadi loe paling gua yang nembak duluan. Adorable gitu! Ehmm... tapi lebih adorable Dj favorit gua sih hihihi!" Ujar Lisa sambil menggulung pasta Itali itu. Lalu memasukan ke mulutnya "Ehmm... enak banget Ren!"
"Loe bener deh, kita bikin kafe aja. Yang cozy gitu. Pangsa pasarnya anak-anak ABG, pasti seru. Ajakin Claudy juga buat join, kita suruh tuh anak yang nyari barista ama chefnya. Eh, Rinda juga boleh. Investor montok tuh. Bisa-bisa langsung masuk majalah sosialita kita... gimana ide gua? Mantap, kan? Ren, loe dengerin gua gak sih?"
"Eh? Oh iya iya gua denger kok!" Aku sedikit terkejut saat Lisa menjawil lenganku.
"Kalo gak pinter boong, gak usah boong!" Tukasnya dengan nada sebal.
Seseorang pernah mengatakan itu padakua
"Apaan sih, emang gua denger! Bikin cafe, kan? Gua lagi gak kepikiran bisnis aja."
"Terus loe mikiran apa? Kawinan loe ama Ryo? Samber aja udah!"
"Sembarangan loe kalo ngomong."
Aku tidak mungkin mengatakan siapa yang ada di kepalaku saat ini. Dj favorit gua, ucapan Lisa itu tenggelam dalam otakku. Dan sulit sekali mengenyahkannya tanpa melihat bayang-bayang kami di masa lalu.
"Aduh gua kebelet nih, Toilet loe dalam kamar?" Tanpa melihat anggukanku Lisa segera berdiri dan tergesa memasuki kamarku.
Kembali, aku memasuki alam pikiran. Memperkirakan apa yang akan kulakukan, mencari tahu bagaimana hatiku saat ini, bisakah aku lebih tangguh lagi? Ada seseorang yang menungguku, walau aku tak bisa memastikan bagaimana akhirnya, disaat hatiku sudah menyimpan nama orang lain.
Seakan belum begitu buruk, semesta masih saja mempermainkanku. Menyerangku dari setiap sisi. Pada seseorang yang kembali kuingat setelah delapan tahun lamanya, kenapa ia harus muncul kembali.
Bagaimana cara aku menyiapkan hatiku, pada kenyataan yang menyerang bertubi-tubi?
Tidak, seharusnya bukan seperti itu. Seharusnya ingatan ini hadir ketika hatiku sudah aman. Bukan terombang-ambing seperti ini!
Dering ponsel Lisa datang menghancurkan lamunanku. Melirik sejenak ke arah tas abu-abu yang bersandar manis pada bantalan sofa.
"Angkatin dong Ren!" Lisa melonggok dari arah dapur. Entah sejak kapan ia disitu.
Cool guy calling.
Aku mengerutkan dahi. Tidak habis pikir dengan kelakuan Lisa menamai temannya.
"Halo?"
Aku seperti mengenal suara orang disebrang sana.
"Halo, sorry! Gua temennya. Lisa lagi ke belakang!" Kataku sambil melirik ke arah dapur. Mana sih Lisa?
"Ren?"
"Iya, loe kenal gua?"
"Gua Robby!"
Aku menelan salivaku. Terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love (END)
General FictionWaktu adalah hal yang tidak bisa kau ukur. Tak bisa kau terka... Aku disiksa setiap malam oleh waktu. Dia menunjukkan satu hal yang tak bisa kukira awal dan akhirnya... Pria itu datang dan pergi seperti aku rumah peristirahatan yang kosong. taman te...