[5] : Everytime

4.5K 254 9
                                    


"Ta, jangan kesana... Nanti masuk jurang!" terdengar suara teriakan pria didekatku.

"Emang aku gak bisa liat kalo ada jurang? kamu mah parnoan."

Jawaban dari teriakan itu ada di kejauhan, suara seorang wanita. Seperti... aku?

"Udah disana aja. Masih gelap, kamu bisa keprosok."

Nada lagi-lagi itu terdengar marah yang halus.

"Iya, iya bawel... aduh, aduh, ati-ati nariknya akunya kesandung kerikil nih. Sakit mas...."

"Liat mataharinya disini aja... Kamu suka banget ya bikin aku marah?"

"Kan aku suka kalo mas khawatirin aku, perhatian ama aku, cint... ah,aha,ah, sakit... nanti idung aku besar gimana?"

"Sini aku cium biar kecil...."

"Ye, dasar mesum!"

"Aduh, sakit ta'!"

"Biarin, wuekk..."

"Udah, sini duduk. Liat tuh, mataharinya udah muncul sedikit!"

Lalu nada-nada itu hadir lagi. Petikan beethoven. Historia De Amore.

Aku mencoba bangun, tapi seperti tertahan oleh sesuatu. Sekali lagi aku berusaha, menggoyangkan tanganku, kakiku, tapi yang kudapat adalah posisiku yang diam ditempat.

"Sini tangannya... peluk!" Suara gadis itu terdengar lagi disela- sela aku yang berusaha untuk mengenali gambarnya.

Tuhan, apa yang terjadi padaku?

Kucoba untuk terjaga, membuka mataku. Namun yang kulihat bukan apa-apa. Hanya Kamar tempatku sekarang berbaring yang sunyi senyap. Lagi, aku menguatkan diri untuk bangun, dan berbalik yang sia-sia.

Aku hanya mampu mendengarkan celotehan dua orang di sampingku.

Aku sadar, atau...

Tidak sadar?

.

.

Aku terbangun dengan kepala pusing dan sendirian, juga efek kaget karena mimpi yang terasa nyata. Hanya ada seprai kusut di sampingku. Sammy pasti sedang jogging, itu kebiasaannya di minggu pagi. Tenggorokan terasa amat kering menuntutku beranjak keluar menuju dapur.

Senyuman mengembang di bibirku saat ingat ini adalah hari minggu dan waktunya untuk aku memasak buat menu sarapan kami. Aku dan Sammy selalu menyempatkan sarapan bersama meski hanya satu minggu sekali. Aku mulai memutar otak untuk memasak apa pagi ini. Apalagi aku dan Sammy baru saja baikan.

***

Aku menyadarkan tubuh di kusen pintu sambil mengamati pria tampan yang saat ini sedang memasang arlojinya dengan posisi membelakangiku. "Sarapannya udah siap tuan Sammy Mahesa Pratama!" ucapku berlagu.

Mau kemana dia? Rapi, wangi, seperti saat weekday.

"Shitt!" sebuah kata meluncur cukup keras dan membuat panas gendang telingaku.

"Aku gak tau kenapa aku harus dimaki?" kutekan intonasi suara meski sedikit kesal sambil bersandar pada daun pintu.

"Kamu gak liat, arlojiku jatuh!" dia menatapku tajam, lalu memungut arlojinya.

"Maaf, aku gak liat!" balasku ketus.

"Mau kemana minggu-minggu gini? Rapi amat?"

"Aku ada kerjaan!"

Ya tahu... jangan sampek ke Tanah Abang dengan dandanan gitu.

"Kamu gak sarapan dulu?"

"Aku udah telat, klienku sebentar lagi mau take off ke Singapure, aku harus buru-buru nemuin dia!"

"Yah, kamu gak sarapan dong? Atau aku bawain aja, nanti dimakan kalau urusannya udah selesai!"

"Gak usah, nanti aku sarapan di luar aja!" di ciumnya keningku sekilas dan segera berlalu.

Kecewa? Tentu saja!

Tanpa mengatakan apapun, mataku tak lepas dari Sammy yang berjalan menuju pintu, memasang sepatunya dan bergegas keluar. Napasku tertahan ketika tidak mendengar salam atau ucapan yang bisanya dia lontarkan sebelum pergi kemana saja. Seolah-olah aku tidak ada di rumah, dia mengacuhkanku. Semalam, aku mengira kami sudah baikan, ternyata...

Aku : Woi, sibuk?

Nafsu makan hilang dratis dan aku memilih berbaring di sofa, sambil menunggu balasan dari dua nenek lampir itu di grup obrolan kami.

Lisa : Pulkam, ada acara keluarga

Mulutku menekuk. Tumben? Lisa adalah orang yang jarang sekali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya, padahal mereka masih dalam satu kota. Entah kenapa, Lisa jarang membicara tentang keluarganya dan aku juga tidak ingin ikut campur bila sahabatku itu enggan membahasnya.

Aku : Yahh... padahal pengen hang out. Claudy bisa gak ya?

Lisa : Tunggu aja, nanti juga di balas.

Aku : Iya, kalo gue udah lumutan.

Aku mengerang kesal sembari menghentak-hentakkan kaki pada pantalan sofa. Tak ada yang bisa diharapkan. Apalagi Claudy. Bahkan bila aku menelponnya, belum tentu juga diangkat. Berbeda dari aku atau Lisa, Claudy jarang sekali menempel pada Gadget-nya, dan itu kadang sering membuat kami sebal.

***

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang